banner 728x250

MEMBACA RELASI POLITIK DEDI MULYADI DAN ONO SURONO

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat dan Ono Surono, Wakil Ketua DPRD Jawa Barat dari unsur fraksi PDI Perjuangan adalah dua figur politik dalam teori “dramaturgi” politik Erving Goffman bisa disebut “on the front stage”, menonjol di panggung politik Jawa Barat saat ini meskipun suka tidak suka Dedi Mulyadi harus diakui nyaris menguasai penuh algoritma digital platform media sosial.

Membaca relasi politik keduanya dalam potongan vidio vidio pendek dan narasi narasi impulsif di media sosial akan berbeda perspektifnya jika dibaca dalam kerangka relasi institusional antara Gubernur dan DPRD di ruang sistem politik demokrasi.

Di media sosial keduanya selalu dikonstruksi dalam relasi politik bersifat “konfliktual’. Vidio vidio hoax dan impulsif dengan durasi pendek dikreasi begitu rupa memperhadapkan keduanya secara “head to head” dan saling “antagonis” satu sama lain.

Aksi “walk out” fraksi PDI Perjuangan dalam rapat paripurna DPRD Jawa Barat diframing sebagai “dosa” politik PDI Perjuangan, dituding menghambat program program Gubernur. Bully politik dan sumpah serapah tumpah ruah di media sosial.

Perspektif demokrasi meletakkan relasi politik Dedi Mulyadi dan Ono Surono tidak dalam relasi konfliktual seperti di atas melainkan relasi politik di mana peran politik Ono Surono sebagai wakil ketua DPRD Provinsi Jawa Barat adalah fungsi “chek and balancing” DPRD terhadap eksekutif, dalam hal ini Gubernur Dedi Mulyadi.

Dalam Konstruksi konstitusional tidak mengenal blok “koalisi” atau “oposisi” dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Posisi politik Gubernur dan DPRD adalah dua unsur penyelenggara pemerintahan daerah bersifat setara dan tidak saling “kooptasi” satu sama lain

Dalam.posisi politik bersifat “setara” itulah DPRD memiliki posisi penting dalam proses politik penyelenggaraan pemerintahan daerah, yakni “chek and balance”, sebuah peran “political balancing” dengan pilihan perspektif mana program yang layak didukung dan mana pula yang harus dikritisi.

Perspektif itulah yang menjelaskan bahwa relasi politik Ono Surono dan Dedi Mulyadi tidak selalu berbeda, bahkan dalam beberapa hal Ono Surono memberi dukungan politik terhadap kebijakan Dedi Mulyadi tentu karena timbangan perspektif dalam maslahat publik.

Misalnya Ono Surono mendukung penuh kebijakan Dedi Mulyadi tentang keharusan sekolah memberikan ijazah para siswa yang tertahan di sekolah akibat adanya “tunggakan administratif” dan dukungan atas pembatasan jam malam bagi para siswa hingga pukul 21.00 wib.

Dalam hal bantuan “hibah” untuk pesantren sejauh pengamatan penulis baik Dedi Mulyadi maupun Ono Surono tidak ada perbedaan dalam prinsip keadilan proporsionalitas dalam distribusinya tanpa menarik narik argument primordial keagamaan seolah olah Dedi Mulyadi tidak pro pesantren.

Perspektif di atas, sekali lagi, hendak menegaskan bahwa dalam demokrasi relasi politik antara Dedi Mulyadi dan Ono Surono adalah relasi institusional antara Gubernur dan DPRD di mana DPRD memiliki fungsi “chek and balance’ untuk mempertajam pilihan program dalam kerangka maslahat publik.

Membiarkan pembingkaian relasi politik antara Dedi Mulyadi dan Ono Surono secara “konfliktual’ bukan hanya akan merugikan secara personal politis kedua belah pihak melainkan dalam perspektif Noams Chomsky, pakar “politik bahasa” akan memperburuk citra politik dan demokrasi jatuh tidak sehat.

Ketika politik dibiarkan hanya diasuh media sosial dalam manipulasi potongan potongan vidio pendek maka dialektika politik sebagai jalan demikrasi dipermainkan oleh realitas buatan, retorika agresif, serangan pribadi dan ujaran kebencian.

Yang tersisa dari proses politik hanyalah memproduksi hoax dan memecah belah, bukan kerja pikiran untuk perjuangan implementasi keadilan dan maslahat publik.

Salah satu hoax dalam relasi politik Dedi Mulyadi dan Ono Surono adalah potongan vidio yang viral di platform media “tiktok” seolah olah Ono Surono “dimarahi” oleh Bambang pacul, salah seorang ketua DPP PDI Perjuangan untuk tidak “melawan orang baik”, maksudnya tidak melawan Dedi Mulyadi.

Padahal vidio itu sudah beredar tahun 2023 dalam konteks yang berbeda, sayangnya dengan ditempelkan foto Ono Surono dalam vidio tersebut maka pesan politiknya menjadi misleading alias “sesat” diterima persepsi publik.

Di sisi lain Dedi Mulyadi perlu dibela karena pilihan kebijakannya menunda bantuan “hibah” misalnya untuk pesantren dan pemberlakuan jam sekolah hingga sore hari tidak diframing seolah olah Dedi Mulyadi tidak pro pesantren dan hendak mematikan eksistensi Madrasah Diniyah (MD) akibat jam belajar tingkat SD hingga sore hari.

Pembingkaian dengan menarik narik anasir anasir keagamaan untuk memperkuat argument penolakan terhadap pilihan kebijakan Dedi Mulyadi sangat berbahaya dan potensial merusak sendi sendi kebangsaan kita. Anasir anasir agama harus dihindarkan dijadikan instrument penguatan sikap politik baik pro maupun kontra.

Ketidaksetujuan atas pilihan kebijakan Dedi Mulyadi tidak perlu digiring secara ekstrim, terlebih jika ditarik tarik dalam relasi agama, ras dan suku secara konfliktual. Ini sungguh sangat membahayakan daya ikat kohesi kohesi sosial kebangsaan kita.

Sebaliknya kecintaan publik terhadap Dedi Mulyadi jangan pula sampai membuat mereka menutup mata justru bisa merugikan Dedi Mulyadi sendiri jika ada langkah dan kebijakan Dedi Mulyadi yang perlu dikritisi. IItulah konsekuensi kita berdemokrasi.

Hanya dengan kesadaran kritis itulah partisipasi publik menjadi lebih bermakna, transaksi gagasan lebih rasional, tidak sekedar berbalas reaksi versus reaksi secara impulsif agar demokrasi tidak kehilangan pilihan etis dan ruhnya.

Jadi persoalannya bukan dalam konteks relasi politik Dedi mulyadi dan Ono Surono dalam personalisasi politik tapi dalam konstruksi demokrasi itulah seharusnya kita membaca dan meletakkan kedalaman relasi politik antara Dedi Mulyadi dan Ono Surono di panggung dramaturgi politik Jawa Barat.

Dengan cara itu diskursus politik di media sosial tidak menjadi ruang bertumbuhnya aneka hoax dan propaganda yang potensial bukan saja membelah kohesi kohesi sosial sesama anak bangsa tapi juga kehilangan syarat kematangan demokrasi untuk kemajuan Jawa Barat.

Di jalan kematangan demokrasi itulah jalan merangkak dan mendaki Dedi Mulyadi berproses menuju masa depan.

Wassalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *