banner 728x250

DEDI MULYADI DAN NU, RELASI MENJAWAB PROBLEM INTOLERANSI DI JAWA BARAT

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan.

KEMENANGAN Elektoral Dedi Mulyadi dalam kontestasi pilkada Jawa Barat 2024 meraih sebesar 61% suara dibaca oleh “Cokro TV”, sebuah channel “YouTube” penganjur ide ide pluralisme, sebagai “Kemenangan Kang Dedi, Sunda Wiwitan Tundukkan Pemuja Habaib” (4/12/2024).

Perspektif “Cokro TV” di atas sangat berbahaya menarik narik kemenangan kontestasi politik Dedi Mulyadi dalam perspektif “politik identitas”, yakni “Sunda Wiwitan” versus “Habaib” , cenderung adu domba dan rasis, justru makin merusak proses integrasi kebangsaan.

Temuan survey LSI Deni JA kemenangan Dedi Mulyadi dalam kontestasi pilkada 2024 di Jawa Barat karena empat faktor, yaitu ia adalah calon Gubernur paling populer, trend tingkat “disukai” publik sangat tinggi, supporting mesin koalisi partai pengusung besar dan model kampanye effektif (“Tempo.co.”, 4/12/224).

Tetapi meskipun faktor faktor kemenangan Dedi Mulyadi dalam temuan survey LSI di atas tidak terkait tentang “politik identitas” – dalam hal toleransi di Jawa Barat memang perlu perhatian sangat serius dalam kepemimpinan Dedi Mulyadi kelak sebagai Gubernur Jawa Barat.

Hasil riset data survey duet peneliti Marcus Meizner dan Burhanudin Muhtadi ( 2018) memberikan gambaran kuantitatif rata rata tingkat penerimaan warga NU di level akar rumput terkait isu toleransi, pluralisme.dan ke bhinneka an di bawah 50%.

Variabel pertama, keberatan (54%) jika didirikan rumah ibadah non muslim, kedua, keberatan j(52%) jika pemimpin daerah non muslim, ketiga keberatan (53%) jika Gubernur dari non muslim dan keempat setuju (59%) etnis Jawa seharusnya memilih orang Jawa.

Burhanudin Muhtadi memberi penjelasan lebih lanjut terkait temuan survey di atas secara komparatif di pulau Jawa bahwa tingkat “intoleransi” di Jawa Barat dan Banten jauh lebih “tebal”, lebih rentan dibanding di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Majalah “Gatra”, 2020)

Amin Mudzakkir, intelektual muda NU, peneliti LIPI (saat ini BRIN) tahun 2018 menemukan fakta mayoritas muslim di Jawa Barat sebesar 79% mengamalkan tradisi kultural NU seperti tahlilan, ziarah kubur, “munggahan”, tetapi hanya 7% dari mereka mengikatkan diri pada NU sebagai “jam’iyah” (ormas Islam).

Temuan ini sebuah indikasi “gap”, di mana “amaliyah” muslim Jawa Barat terhadap tradisi keagamaan kultural NU begitu besar (79%) tidak berbanding kuat, hanya 7% daya ikat mereka terhadap NU sebagai “jam’iyah”, sangat “longgar”, rentan terpapar sikap “intoleransi”.

Dalam konteks ormas ormas Islam selain NU pun problem toleransi selalu rumit, potensial muncul sikap “intoleran” baik antar agama maupun antar sesama ormas Islam dalam soal “khilafiyah” keagamaan.

Ini jelas bukan jumlah sedikit, sangat problematik dalam konteks .proses penguatan integrasi kebangsaan di Jawa Barat dalam mengawal Pancasila sebagai “konsensus” final arah kiblat bangsa.

Ini sebuah tantangan sosiologis tidak sederhana dalam menumbuhkan indeks toleransi dan kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Jawa Barat.

Dalam perspektif itu relasi kolaboratif pemerintah provinsi Jawa Barat kelak di bawah kepemimpinan Dedi Mulyadi bersama NU Jawa Barat penting dalam dalam konstruksi menumbuhkan indeks toleransi di Jawa Barat.

Tentu bukan karena NU ormas paling tegas dalam komitmen toleransi, kebhinekaan dan kokoh dalam meletakkan prinsip prinsip relasi agama dan negara sebagai “nation state”, sebuah entitas negara bangsa modern di mana budaya “kearifan lokal” dijamin ruang ekspresinya.

Tetapi bersamaan dengan itu karena jumlah warga NU begitu besar dalam populasi muslim di Jawa Barat, layak menjadi “trend setter”, lokomotif penggerak membangun konstruksi toleransi bersama ormas ormas Islam lain dan ormas ormas lain non Islam.

Itulah ekosistem sosial penting selalu ditumbuhkan dan dirawat sebagai “sosial kapital”, prasyarat penggerak akselerasi teknokratis pembangunan di Jawa Barat, di tengah transisi masyarakat “urban” Jawa Barat.

Terlebih tantangan penetrasi media sosial bersifat lintas batas teritorial negara masuk ke ruang ruang privat dengan konten konten ideologi “trans nasional” mulai mengubah mindset dan prilaku akar rumput, rentan terpapar sikap “intoleran”.

Wassalam (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *