Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
Usulan Presiden Prabowo bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih kembali oleh DPRD saat disampaikan dalam Hari Ulang Tahun (HUT) Partai Golkar (12/12/2024) menuai pro dan kontra di ruang publik.
Dalam UUD 1945 (amandemen 2001) hanya disebutkan “Kepada Daerah dipilih secara demokratis” (UUD pasal 18, ayat 4).
Jadi pilkada dipilih langsung atau oleh DPRD tidak memerlukan “amandemen” UUD kecuali tergantung pilihan policy Presiden bersama DPR RI tapi jelas tidak bisa ditunjuk.
Bahkan jabatan “wakil” kepala daerah tidak disebutkan secara eksplisit dan imperatif dalam UUD di atas. Hanya diatur dalam undang undang turunannya.
Kedudukan “wakil” dalam konstitusi sangat lemah,, berdayung bersama dalam pilkada, tapi mudah ditendang sendirian atau sebaliknya potensial menggunting dalam lipatan.
Perbaikan sistem pilkada jelas penting, urgen dan mendesak minimal dalam dua aspek :
Pertama, mendesain regulasi yang ketat untuk menekan cost politik tidak berbiaya tinggi baik yang ditanggung pemerintah maupun kandidat dalam memenangkan kontestasi politik.
Akibat pilkada berbiaya tinggi, suka tidak suka, kandidat terpilih seringkali terjebak dalam lingkaran korupsi untuk mengembalikan modal atau terkait deal deal politik dengan pihak pihak yang mendukungnya.
Dalam catatan KPK dan Indonesian Corruption Watch (ICW) 467 kepala daerah selama 20 tahun pelaksanaan pilkada langsung terjerat kasus korupsi mulai jual beli jabatan, fee proyek, bisnis perijinan dan lain lain.
Kedua, sistem instrument dan seleksi kandidat harus menghasilkan pemimpin dengan kapasitas dan kompetensi memadai, integritas tinggi, tidak sekedar populer dan elektabel.
Hasil kajian kemendagri kepala daerah yang dipilih langsung dari segi kualitas dan kompetensi cenderung “dibawah standart”. Kualitas personal, keteladanan dan kemampuan teknokratis rendah.
Sumber masalahnya terkait sistem rekruitmen yang hanya disandarkan pada peta survey dan kemampuan membayar “mahar” politik. Ini problem besar partai politik.
Dalam konteks.itu perbaikan sistem pilkada harus diletakkan dalam rencana besar konsolidasi demokrasi.
Pemerintah penting menyiapkan revisi UU partai politik, UU pemilu, UU pilpres dan UU pilkada dalam satu kesatuan paket dalam bentuk “Omnibus low” bidang politik.
Itulah pentingnya perbaikan sistem pilkada bukan sekedar murah, efesien tapi instrument seleksinya harus menghasilkan pemimpin dengan kompetensi dan integritas tinggi, tidak sekedar populer – tanpa memotong hak rakyat memilih pemimpinnya secara langsung.
Wassalam.