JAKARTA — Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCIC), yang selama ini disebut sebagai simbol kemajuan infrastruktur nasional, kini mendapat sorotan tajam dari ekonom senior Ichsanuddin Noorsy. Dalam analisis terbarunya bertajuk “Audit Konstitusional dan Rekonstruksi Struktural Proyek KCIC: Analisis Integratif Berdasarkan Pendekatan 7P – 7i – 7R”, Noorsy menilai bahwa proyek KCIC tidak hanya harus diaudit secara administratif, tetapi juga secara konstitusional, karena menyangkut kedaulatan ekonomi bangsa.
“Audit KCIC bukan sekadar pemeriksaan angka-angka, melainkan momentum rekonstruksi kedaulatan ekonomi. Audit ini harus menjawab: apakah pembangunan tunduk pada Pasal 33 UUD 1945, siapa yang mengendalikan manfaat ekonomi nasional, dan bagaimana kemandirian fiskal serta industri dipulihkan,” tegas Ichsanuddin Noorsy dalam paparannya di Jakarta, Senin (21/10/2025).
Proyek Strategis, tapi Sarat Masalah Struktural
Menurut Noorsy, proyek KCIC menggambarkan dilema antara modernisasi fisik dan kedaulatan ekonomi. Meskipun proyek ini disebut membawa kemajuan transportasi, namun di baliknya terdapat masalah fundamental seperti ketergantungan utang luar negeri, dominasi kontraktor asing, hingga lemahnya transfer teknologi.
Dalam kerangka pendekatan 7P (Paradigma, Produksi, Pembiayaan, Perdagangan, Pemerintahan, Pendapatan, dan Peradaban), Noorsy menemukan tujuh masalah struktural utama. Di antaranya, paradigma pembangunan berbasis utang, pembiayaan berisiko tinggi dengan jaminan APBN terselubung, hingga krisis keadilan sosial akibat orientasi pembangunan yang terlalu fisikal.
“Kita kehilangan ruh pembangunan konstitusional. Proyek ini dikerjakan dengan semangat euforia, bukan kehati-hatian. Ketika modernitas fisik dijadikan ukuran kemajuan, nilai-nilai kemandirian justru tergerus,” ujarnya.
7i: Mekanisme Penaklukan Ekonomi Global
Dalam analisis lanjutannya, Ichsanuddin menjelaskan mekanisme yang ia sebut “7i” — yaitu invasi, intervensi, infiltrasi, interferensi, indoktrinasi, intimidasi, instability (ketidakstabilan) — sebagai bentuk penyakit eksternal dari proyek-proyek yang sarat ketergantungan global.
Ia menilai proyek KCIC telah menjadi contoh penetrasi kapital global terselubung yang membungkus kepentingan luar negeri dalam retorika pembangunan nasional.
“Kita menghadapi bentuk kolonialisme baru yang tidak datang dengan senjata, tetapi dengan kontrak dan pinjaman. Di sinilah pentingnya audit konstitusional: untuk membedakan pembangunan yang menyejahterakan rakyat dan pembangunan yang menjerat bangsa,” ungkap Noorsy.
7R: Solusi Struktural untuk Pulihkan Kedaulatan
Sebagai solusi, Noorsy menawarkan pendekatan 7R (Reformulasi, Rekonstruksi, Reposisi, Redistribusi, Regulasi, Reproduksi, dan Reorientasi) yang berfungsi sebagai terapi struktural untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi.
Di antara langkah prioritas yang ia usulkan:
1. Reformulasi paradigma pembangunan berbasis kedaulatan nasional.
2. Rekonstruksi sistem pembiayaan agar tidak tergantung utang luar negeri.
3. Reposisi industri nasional dengan minimal 70% komponen lokal.
4. Redistribusi manfaat ekonomi proyek kepada masyarakat, koperasi, dan UMKM.
5. Regulasi audit hukum dan keuangan secara menyeluruh.
“Audit yang melahirkan kedaulatan, bukan sekadar laporan angka — itu yang kita butuhkan. Audit KCIC harus menjadi koreksi nasional bagi seluruh proyek strategis ke depan,” tegasnya.
Rekomendasi Audit Konstitusional
Noorsy juga mengusulkan pembentukan Komisi Audit Konstitusional Independen yang melibatkan BPK, akademisi, dan masyarakat sipil. Komisi ini diharapkan mampu memeriksa pembiayaan, kontrak, dan dampak sosial ekonomi proyek KCIC secara objektif, tanpa intervensi politik.
Beberapa rekomendasi kunci yang ia sampaikan meliputi:
– Pembekuan sementara jaminan APBN hingga audit selesai.
– Revisi kontrak KCIC agar negara tidak menanggung kerugian akibat buruknya tata kelola.
– Kewajiban transfer teknologi dan peningkatan komponen lokal.
– Penerapan regulasi permanen: setiap proyek strategis wajib melalui uji kedaulatan ekonomi konstitusi.
Kedaulatan sebagai Ukuran Pembangunan
Melalui pendekatan 7P–7i–7R, Ichsanuddin Noorsy menegaskan bahwa pembangunan sejati bukan diukur dari kecepatan fisik, tetapi dari kemampuannya memulihkan martabat dan kemandirian bangsa.
“Profit bukan tujuan utama pembangunan, melainkan akibat logis dari kepatuhan terhadap hukum, moral, dan kepentingan publik,” pungkasnya.
Menurut Noorsy, proyek KCIC seharusnya menjadi pelajaran nasional bahwa ketergantungan ekonomi tidak akan pernah melahirkan kemandirian. Karena itu, audit konstitusional bukan hanya instrumen akuntansi, tetapi juga langkah strategis untuk mengembalikan arah pembangunan sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945 — ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. (mak/rls)