banner 728x250

CATATAN 100 HARI BUPATI CIREBON H. IMRON DALAM SURVEY KEPUASAN PUBLIK

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

Dalam 100 hari kerja Bupati Cirebon, H. Imron, sejak dilantik pada tanggal 26 Pebruari 2025 tingkat kepuasan publik sebesar 51%, dengan rincian 9% “sangat puas” dan 42% “cukup puas”. Sementara 25% “idak puas”, 14% “kurang puas” dan sisanya “tidak menjawab”.

Itulah hasil survey CESDA (Centre For Statistics And Data Analysis) periode 7 – 16 Juni 2025, sebuah lembaga survey berbasis di kota Cirebon, berpengalaman dan pernah “berpartner” dengan harian “Kompas” dalam kegiatan “hitung cepat” pemilu 2024 di Dapil VIII (Cirebon & Indramayu).

Hasil survey tingkat kepuasan publik di atas tidak relevan untuk dibaca sebagai preferensi dan proyeksi elektoral H.Imron ke depan. Pasalnya ia sudah dalam periode kedua sebagai Bupati Cirebon, tidak mungkin secara regulasi untuk maju lagi periode berikutnya.

Tetapi sebagai Bupati dalam konteks tugas pokok dan tanggung jawabnya sebagai “pelayan publik” survey tingkat kepuasan publik terhadap 100 hari kerja Bupati begitu penting, memiliki makna politis sekaligus teknokratis.

Pertama, tingkat kepuasaan publik sebesar 51% di atas adalah gambaran persepsi publik terhadap Bupati ketika harapan mereka mulai bertemu dengan realitas kebijakan. Ketika janji janji manis kampanye mulai bertemu dengan denyut dan getir kehidupan sehari hari.

Dalam teori survey Prof. Takashi tingkat kepuasan publik di bawah 60% adalah ambang batas potensial bisa menyulitkan seorang Bupati meyakinkan publik dan institusi dibawahnya kecuali melakukan hentakan dan gebrakan kebijakan populis dalam konstruksi proorsionalitas yang berkeadilan.

Keberanian mengambil kebijakan yang menghentak secara populis alias tidak “omon omon” bisa menjadi daya dorong “rebound” atau naik kembali tingkat kepuasan publik terhadap Bupati H. Imron, terlenih jika diback up tim komunikasi publik dengan kepiawaian narasi dan diksi yang “membatin”.

Kedua, hasil survey kepuasan publik di atas seharusnya menjadi “opinion balancing”, opini penyeimbang atas kerja kerja birokrasi sehingga desain program Bupati tidak mengikuti kehendak nafsu elitis, hanya “karangan” kerja kerja birokrasi.

Itulah cara publik memberi tahu Bupati yang dipilih dalam mekanisme rezim politik elektoral sehingga menjadi “catatan kaki” untuk mendesain konstruksi pilihan kebijakan ke depan yang relasional dan “nyambung” dengan kebutuhan mendesak publik.

Dengan kata lain inilah cara demokrasi melibatkan publik dengan methodologi survey untuk memberikan apresiasi atau sebaliknya evaluasi dalam periode 100 hari kerja terhadap Bupati yang mereka pilih sekaligus titik pijak untuk mengkonstruksi kebijakan kebijakan publik ke depan.

Tinggi atau rendahnya tingkat kepuasan publik terhadap seorang pemimpin (Bupati) adalah alat ukur politik tentang tingkat keyakinan publik percaya atau tidak terhadap kesungguhan pemimpin bekerja untuk rakyat. Itulah point survey tingkat kepuasan publik.

Tentang isu isu publik apa saja yang menjadi “penyumbang” tingkat kepuasan publik terhadap 100 hari kerja bupati H. Imron hanya 51 (bandingkan dengan kepuasaan publik Dedi Mulyadi 94%) dan di mana posisi wakil Bupati, H. Agus Kurniawan Budiman dalam potret survey – akan dianalisis dalam tulisan berikutnya berbasis data survey.

H. Imron, Bupati Cirebon, penulis mengenalnya, sebagai tokoh politik berlatar belakang aktivis NU tentu memahami kaidah “fiqih politik” Imam Syafie “tashorruful imam ‘ala Al roiyah manuthun bil maslahah”.

Artinya, bahwa harga kemuliaan seorang pejabat publik sepenuhnya terletak pada resonansi maslahatnya dari rangkaian kebijakan publik yang diputuskan, bukan yang lain lain.

Ke sanalah orientasi kepemimpinan politik diarahkan, mengutip amanat pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi rakyat, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai rentang kendali yuridiksi kewenangannya.

Wassalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *