JAKARTA – Kejaksaan Agung menerima pengembalian uang sebesar Rp 11,8 triliun dari terdakwa korporasi kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO).
Korporasi yang mengembalikan uang itu tergabung dalam Wilmar Group. Lima korporasi tersebut yakni PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Seperti yang dilansir kumparan.com, Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, menyebut bahwa uang itu disetor oleh lima terdakwa korporasi tersebut melalui Rekening Penampungan Lainnya (RPL) Jampidsus Bank Mandiri dalam dua kali penyerahan, yakni pada 23 Mei dan 26 Mei 2025.
Harli menyebut bahwa uang sebesar Rp 11,8 triliun itu berada pada RPL Jampidsus tersebut. Saat konferensi pers terkait penyitaan, Kejagung memamerkan uang senilai Rp 2 triliun di antaranya.
“Kita kan mau sampaikan ke publik, bahwa kami sudah melakukan penyitaan terhadap pengembalian kerugian keuangan negara. Makanya, karena tidak cukup tempat dan faktor keamanan, kami pertimbangkan, kalau nanti Rp 11,8 triliun itu kita display-kan semua, wah mungkin tempatnya ini enggak cukup,” kata Harli kepada wartawan, Rabu (18/6).
“Sama [pertimbangannya] dari sisi keamanan, karena kalau banyak media mau di mana,” terangnya.

Harli mengatakan setelah penyitaan itu, uang tersebut tidak akan langsung disetor ke kas negara. Sebab, saat ini, perkara CPO yang menjerat 3 grup korporasi itu masih dalam tahap kasasi dan belum berkekuatan hukum tetap.
Lantas, bagaimana status uang tersebut?
Harli menyebut bahwa uang tersebut sudah disita. Namun, nantinya status uang tersebut menunggu putusan pengadilan.
“Nah, dilihat putusannya, itu yang saya bilang tadi, apa putusan hakim. Kalau itu dirampas untuk negara, ya kita setor ke kas negara, disetor nanti dipindahkan dia dari akun RPL itu ke kas negara, gitu,” jelas Harli.
“Nanti kalau misalnya dia sudah inkrah, sudah berkekuatan hukum tetap, [diputuskan] uang itu dirampas untuk negara, maka jaksa eksekutor akan menyetorkan ke kas negara, berkuranglah uang di RPL, begitu,” sambungnya.
- Diajukan Jadi Memori Kasasi
Direktur Penuntutan Jampidsus Kejagung, Sutikno, menyebut bahwa terdakwa korporasi itu mengembalikan uang sebesar Rp 11,8 triliun sesuai jumlah yang dibebankan kepadanya terhadap kerugian negara yang ditimbulkan.
“Bahwa dalam perkembangannya, kelima terdakwa korporasi tersebut beberapa saat yang lalu mengembalikan sejumlah uang kerugian negara yang ditimbulkan. Total seluruhnya seperti kerugian yang telah terjadi yaitu Rp11.880.351.802.619 [Rp 11,8 triliun],” ujar Sutikno, Selasa (17/6).
Rincian masing-masing uang yang dikembalikan oleh kelima korporasi tersebut yakni sebagai berikut:
- PT Multimas Nabati Asahan sebesar Rp3.997.042.917.832,42;
- PT Multi Nabati Sulawesi sebesar Rp39.756.429.964,94;
- PT Sinar Alam Permai sebesar Rp483.961.045.417,33;
- PT Wilmar Bioenergi Indonesia sebesar Rp57.303.038.077,64; dan
- PT Wilmar Nabati Indonesia sebesar Rp7.302.288.371.326,78.
“Bahwa selanjutnya terhadap jumlah uang yang telah dikembalikan tersebut, Penuntut Umum telah melakukan penyitaan berdasarkan penetapan izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 40/PID.SUS/TPK/2025 PN Jakarta Pusat,” ucap Sutikno.
“Penyitaan tersebut dilakukan pada tingkat penuntutan dengan mendasarkan ketentuan Pasal 39 ayat 1 huruf a juncto Pasal 38 ayat 1 KUHAP untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi,” imbuhnya.
Selanjutnya, kata dia, uang sitaan itu diajukan sebagai tambahan memori kasasi atas vonis lepas yang diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap para terdakwa itu.
“Sehingga, keberadaannya dapat dipertimbangkan oleh Hakim Agung yang memeriksa kasasi, khususnya terkait uang tersebut supaya dikompensasikan untuk membayar seluruh kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan korupsi yang dilakukan oleh para terdakwa korporasi,” tutur dia.
- Kasus CPO
Perkara ini bermula ketika Kejagung menjerat 5 orang. Mereka adalah eks Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Indra Sari Wisnu Wardhana; mantan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master, Parulian Tumanggor; mantan Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alamlestari, Stanley MA; mantan General Manager (GM) Affair PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang; dan Tim Asistensi Menko Bidang Ekonomi, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.
Weibinanto disebut mengobral izin ekspor kepada sejumlah eksportir. Untuk memuluskan aksinya, Weibinanto bekerja sama dengan Indra Sari dan menguntungkan sejumlah pihak. Mereka kemudian dinyatakan bersalah oleh Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Kasus tersebut kemudian berkembang dan menyeret tiga grup korporasi minyak goreng, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Dalam sidang putusan, ketiga grup tersebut dinyatakan bersalah. Namun hakim menyatakan perbuatan korporasi itu bukan suatu tindakan pidana. Dengan begitu, ketiganya dijatuhi vonis lepas atau ontslag oleh Majelis Hakim.
Sebelumnya dalam tuntutannya, JPU menuntut para terdakwa agar membayar sejumlah denda dan uang pengganti.
Terdakwa PT Wilmar Group dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 11.880.351.802.619. Jika tidak dibayarkan, harta Direktur PT Wilmar Group, Tenang Parulian dapat disita dan dilelang. Apabila tidak mencukupi, Tenang dikenakan subsider pidana penjara 19 tahun.
Lalu, Permata Hijau Group dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 937.558.181.691,26. Jika tidak dibayarkan, harta pengendali lima korporasi di bawah Permata Hijau Group, David Virgo dapat disita dan dilelang. Bila tidak mencukupi, ia dikenakan subsider penjara selama 12 bulan.
Bagi terdakwa Musim Mas Group dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 4.890.938.943.794,1.
Jika tidak dibayarkan, harta milik Direktur Utama Musim Mas Group, Gunawan Siregar dan sejumlah pihak pengendali korporasi di bawah Musim Mas Group dapat disita dan dilelang. Bila tidak cukup, mereka mendapatkan subsider penjara masing-masing selama 15 tahun.
Lantaran vonis lepas, Kejagung kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Belakangan, Kejagung mengendus adanya dugaan suap di balik putusan lepas tersebut. Dalam pengusutan kasus itu, sudah ada delapan tersangka yang dijerat penyidik Kejagung.
Para tersangka dari pihak pemberi suap, yakni dua pengacara Ariyanto Bakri dan Marcella Santoso serta pihak legal Wilmar Group, Muhammad Syafei.
Sementara, untuk pihak penerima suap ada lima orang tersangka yakni Muhammad Arif Nuryanta (mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dan Wahyu Gunawan (mantan Panitera Muda PN Jakpus) serta majelis hakim yang menyidangkan korporasi terdakwa CPO: Djuyamto, Agam Syarif, dan Ali Muhtarom. (ynt/rls)