Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan”Bukan kematian benar menusuk kalbu,
Keridoanmu menerima – segala tiba”
Kutipan dua bait puisi penyair Chairil Anwar (“Nisan” – 1942) di atas seketika terlintas menggantung di kaki horizon pikiran penulis saat melihat vidio pendek acara perpisahan resmi Komisaris Jenderal (“Komjend” – Bintang tiga) H. Ahmad Dofiri, pasca purna tugas dari institusi kepolisian (Selasa, 19/8/2025).
Artinya, bukan kalimat terbata bata bercampur haru yang ia ucapkan, bukan pula air mata yang tumpah di pipi tak tertahankan menyesak ruang dada – saat ia memberi sambutan perpisahan di institusi kepolisian di mana ia merangkak dan mendaki begitu panjang di dalamnya.
Tapi keridoan untuk menerima segala tiba dalam pengabdian di institusi kepolisian telah menjejakkan peradaban untuk menyemai benih keteladanan etis di kampung halamannya, Indramayu, adalah sebuah asa dan harapan.
H. Ahmad Dofiri, putera asli Tegalurung, Indramayu tidak lahir dalam asuhan “tontonan” media sosial kekinian, ia bertumbuh dalam “tuntunan” kearifan lokal dan keteladanan ekosistem sosial yang begitu ketat dipagari norma kultural dan agama.
Ia adalah profile seorang perwira polisi profesional merangkak dan mendaki dari bawah, karier profesionalnya tidak kontroversial, teguh dalam adab dan etika, jauh dari blok faksi faksi tarikan afiliasi politik, – sesuatu yang bukan perkara gampang saat politik menerobos institusi kepolisian hingga publik menudingnya “partai coklat”.
Sebagai peraih bintang Adi Makayasa, yakni alumni terbaik Akpol angkatan tahun1989. H. Ahmad Dhofiri berperan penting menjaga marwah kepolisian saat ia berhasil membongkar anasir “obraction of justice”, penghalang penyidikan justru di lingkup institusi polri sendiri, dalam kasus Irjend Ferdy Sambo yang sangat menggebohkan.
H. Ahmad Dofiri dipercaya menjadi “ketua hakim” etik dan merekomendasikan pemecatan Ferdy Sambo dari anggota polisi tidak dengan hormat (PTDH). Tuntas dan presisi (terukur), sebuah keteladanan etis sangat membanggakan di pucuk atas institusi kepolisian.
Pesan filosofis dalam mengambil peran penting di atas adalah bahwa kemampuan seorang pejabat menggerakkan kewenangan yang dimilikinya dalam konteks landasan etis adalah kekuatan kearifan dan keteladanan untuk meletakkan jabatan dalam.fungsi pencerahan peradaban dan keadilan publik bukan alat menumpuk kapital secara destruktif dan pola hidup yang “adigang adigung adigono” dan keangkuhan.
Kini, saat ia telah purna tugas dari institusi kepolisian yang membesarkan namanya dengan legacy keteladanan yang membanggakan maka saatnya ia menengok jalan pulang ke Indramayu, kampung halamannya, untuk menyemai dan membersamai jalan keteladanan ekosistem sosial di Indramayu.
Keridoannya untuk menengok jalan pulang keteladanan di kampung halamannya, Indramayu saat ini begitu penting, ibarat “oase” sebuah mata air keteladanan saat publik disuguhkan gersangnya keteladanan moralitas para pejabat di Indramayu, hanya piawai menyuguhkan “tontonan” politik tapi miskin “tuntunan” keteladanan politik.
Indramayu saat ini meskipun tidak separah gambaran seorang aktivis politik Moh Solihin dalam puisinya berjudul “Kepemimpinan Indramayu peteng rubet”, setidaknya rentan dan mudah menyalahgunakan kekuasaan, merekayasa kasus dan aturan, mengkorupsi kebijakan publik dan prilaku pragmatisme “Binatangisme” politik.
Indramayu terlalu “mahal’ hanya menjadi alat tontonan para elite yang datang dan pergi lima tahun sekali dengan atraksi panggung sinetron politik tanpa jejak keteladanan abadi bagi tumbuhnya imajinasi peradaban masa depan Indramayu.
Di titik inilah jalan pulang keteladanan H. Ahmad Dofiri, ke Indramayu, kampung halamannya begitu penting pasca purna tugas dari institusi polri, setidaknya menyemai keteladanan dalam ekosistem lingkar pejabat di Indramayu
Wassalam.