JAKARTA- Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat telah sukses menyelenggarakan simposium nasional dan grand opening Pers Club Indonesia, pada hari Sabtu, 15 November 2025. Acara yang dilaksanakan di ruang meeting SMSI Pusat Jl Veteran II No 7C, Gambir-Jakarta Pusat tersebut, diikuti berbagai kalangan tokoh pers nasional dan para pengurus SMSI dari berbagai daerah se-Indonesia, baik yang hadir secara langsung maupun melalui virtual.
Hadir sejumlah tamu undangan, antara lain, Handoyo Budhisedjati, Ketua Umum Forum Masyarakat Indonesia EMAS (FORMAS), Mayjen (Purn) Herwin Suparjo, S.Sos.,SH, Theodorus Dar Edi Yoga (Ketua Umum Forum Pemred), Hersubeno Arief, S.Sos, M.Si (Konsultan Media dan Politik.), tokoh pers nasioal, Sasongko Tedjo, SE., MM dan Sayid IskandarsyahSH dan sejumpah perwakilan dari organisasi pers Indonesia, salah satunya dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

Mengawali acara simposium nasional dan grand opening Pers Club Indonesia, para peserta menyanyikan lagu Indonesia Raya dan berdoa. Menariknya dalam doa bersama ini, dipimpin langsung oleh Sekretaris Jenderal SMSI Pusat, Makali Kumar, SH. Dalam do’a yang dipimpin orang nomor dua di SMSI Pusat asal Kabupaten Indramayu ini, tampak peserta begitu khusuk mengikutinya.
“Ya Allah, limpahkanlah rahmat, hidayah, dan keberkahan-Mu atas acara ini. Jadikanlah kegiatan kami sarana untuk menghadirkan kebaikan, memperkuat persatuan, serta memajukan dunia pers dan informasi di Indonesia,” ujar Makali yang dijawab “amin” oleh peserta simposium nasional dan grand opening Pers Club Indonesia.

Selanjutnya, Ketua Umum SMSI Pusat Firdaus menyampaikan sambutan, yang intinya kegiatan simposium nasional dan grand opening Pers Club Indonesia, merupakan salah satu program organisasi perusahaan pers yang dipimpinnya, untuk berkontribusi dalam menghadapi tantangan media massa saat ini, dan upaya untuk terus memajukan pers di Indonesia. Dengan mengenakan batik coklat, Firdaus dalam kesempatan itu, menegaskan pentingnya sinergi antarlembaga pers dalam meningkatkan kesejahteraan wartawan.
“Pada kesempatan ini, hubungan AJI dan SMSI sama-sama memperjuangkan kesejahteraan wartawan,” ujarnya.

Firdaus juga menekankan peran pers dalam menjaga kepentingan publik.
“Pers tidak memperjuangkan simbol, tetapi memperjuangkan kepentingan publik dan rakyat Indonesia,” katanya.
Setelah itu dilanjutkan dengan sesi diskusi dengan moderator Ilona Juwita. Narasumber pertama adalah Koordinator Bidang Organisasi dan Tata Kelola Publisher Rights Komite Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Jurnalisme Berkualitas (KTP2JB), Alexander Suban, menekankan pentingnya kolaborasi antara perusahaan media dan platform digital.
Menurut Alexander, transformasi digital membuat media tidak lagi hanya mengandalkan saluran distribusi yang dapat dikendalikan sendiri seperti pada era media cetak.
Kini, platform digital memegang peranan dominan dalam penyebaran informasi.

“Perkembangan media saat ini menunjukkan bahwa distribusi berita banyak ditentukan platform digital. Karena itu, kerja sama antara media dan platform menjadi sangat penting,” ujarnya dalam pemaparan.
Ia juga menjelaskan bahwa Komite yang ia wakili bertugas memfasilitasi kerja sama antara perusahaan media dan platform digital, termasuk dalam hal bisnis, monetisasi, serta peningkatan kapasitas.
“Kami menyediakan fasilitasi bagi perusahaan media untuk menjalin kemitraan, mengikuti pelatihan, dan memanfaatkan fitur monetisasi demi memperkuat pemasukan perusahaan,” katanya.
Simposium tersebut juga menghadirkan narasumber kedua, Agus Sudibyo, yang menjabat sebagai Dewan Pengawas LPP TVRI.

Dalam pemaparannya, Anggota Dewan Pengawas LPP TVRI, Agus Sudibyo, menjelaskan kondisi nyata perusahaan media saat ini yang sedang menghadapi tantangan besar.
“Jika kita membayangkan Indonesia Emas 2045, maka dua puluh tahun ke depan tidak akan mudah. Tantangan media dua sampai tiga tahun ke depan saja sudah semakin kompleks dan sulit diperkirakan,” ujarnya.
Agus menyebut situasi media saat ini berada dalam ketidakseimbangan antara jumlah perusahaan pers dan kemampuan ekonomi yang menopang industri tersebut.
“Jumlah media tidak seimbang dengan kondisi ekonomi kita. Setiap tahun ratusan media terus berdiri tanpa mengindahkan realitas ekonomi yang ada,” katanya.
Ia juga menyoroti persoalan tanggung jawab bersama di antara pelaku industri media, termasuk peran organisasi seperti SMSI dalam memperjuangkan ekosistem yang lebih adil, khususnya terkait insentif dan hubungan dengan platform digital.
Lebih lanjut, Agus turut menyinggung perkembangan kecerdasan buatan (AI).
“AI seperti ChatGPT akan semakin cerdas jika data yang diproduksi benar, baik yang berasal dari media sosial, konten buatan AI sendiri, maupun konten media massa,” ucapnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa ketergantungan berlebihan pada konten yang dibangun AI dapat berdampak negatif.
“Dari tiga sumber itu, jika kualitasnya rendah, maka AI justru bisa meracuni. Semakin tidak cerdas datanya, semakin bodoh hasilnya,” ujarnya.
Agus menilai situasi bisa menjadi semakin kompleks ketika mayoritas media menggunakan AI untuk produksi konten.
“Bayangkan jika dari 1.000 media, 900 di antaranya memakai AI. Kita bisa banjir konten, sementara kualitasnya belum tentu membaik,” katanya.
Ia juga menyoroti tantangan model bisnis media yang kian berat. “Biaya produksi tinggi, persaingan iklan ketat.
Pertanyaannya, jualannya di mana? Iklannya di mana? Dua tahun ke depan media massa di Indonesia akan seperti apa?” ujarnya.
Agus juga memaparkan bukti-bukti dominasi Google yang nyaris paripurna di Indonesia. Browser Google Chrome menguasai sekitar 90% pasar, sistem operasi Android mendominasi smartphone Indonesia, hingga platform video yakni YouTube yang juga merajai.
Namun yang menjadi pertanyaan besar, mengapa tidak ada gugatan dengan menggunakan Undang-undang Anti Monopoli? Agus mengungkap tiga kendala utama tersebut.
Pertama, kesulitan mendefinisikan bisnis inti perusahaan seperti Google. “Kesulitannya itu menentukan, sebenarnya Google itu maunya apa? Dia perusahaan teknologi atau perusahaan iklan? Itu saja diskusi bisa berbulan-bulan tidak ada kesimpulan,” tandasnya.
Kedua, status badan hukum Google di Indonesia yang hanya berupa perwakilan, sehingga tidak memadai untuk proses hukum yang serius.
Ketiga, dan ini yang paling mengkhawatirkan, adalah ketakutan akan retaliasi. “Kekhawatirannya, nanti kalau kita terlalu keras dengan mereka, akan dihadapi dengan mekanisme retaliasi, seperti yang terjadi di Australia,” kata Agus.
Ia mengingatkan insiden di Australia tahun 2021, ketika Facebook memblokir akses berita di platformnya sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Pemerintah Australia yang mewajibkan platform digital membayar media atas konten berita.
Pernyataan Agus ini mengingatkan semua pihak bahwa di balik kemudahan layanan digital yang diberikan raksasa teknologi, tersimpan ancaman terhadap kedaulatan digital Indonesia menuju Indonesia Emas 2045.
Simposium Nasional SMSI tersebut ditutup dengan sesi tanya jawab interaktif antara peserta dan narasumber. Dilanjutkan dengan berpose bersama, para nara sumber dengan pengurus SMSI Pusat maupun peserta. (yanti)














