banner 728x250

BUPATI ADALAH IMAM, MEMPERTAJAM TULISAN DR. MASDUKI TENTANG RESIKO MENJADI BUPATI

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan.

Tulisan Dr. Masduki Duriyat berjudul “Bupati Adalah Imam” di akun “Facebook” miliknya – singkat, padat dan tajam, sebuah pesan mendalam bahwa bupati adalah sumber moralitas dan rujukan keteladanan di ruang maslahat publik.

Dalam kaidah “fiqih politik” disebutkan “tashorruful imam ‘ala Al roiyah manutun bil maslahah”,- bahwa kepemimpinan politik sepenuhnya diletakkan dalam ruang orientasi yang terikat maslahat publik.

Mengutip bahasa “dasa dharma” anak anak Pramuka – pemimpin (seharusnya) “suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan”, tidak dijungkir balik menjadi “menipu sejak perencanaan, penganggaran hingga pelaksanaan”.

Diksi “imam” dalam judul tulisan Dr. Masduki tersebut yang dipertautkan pada jabatan bupati adalah spektrum nilai dengan implikasi politik bahwa ucapan dan tindakan seorang bupati adalah keteladanan untuk diikuti rakyat sebagaimana imam diikuti makmumnya.

Jadi, resiko menjadi bupati tidak terletak pada beban beban kerja bersifat teknis misalnya membangun jalan, jembatan, irigasi dan infrastuktur fisiknya. Itu semua memang pekerjaan penting bagi maslahat publik tapi bersifat kerja teknis sangat mudah.

Pasalnya uang dalam APBD sudah tersedia dari pajak keringat rakyat. Sumber daya birokrasi terdidik sebagai support system sudah “siap pakai” dan ekosistem kerja dari perencaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi sudah terstandardisasi dalam regulasi.

Bupati hadir dipilih rakyat tidak mewakili kemewahan protokoler untuk dinikmati melainkan mewakili perasaan rakyat yang menjadi ‘makmum”, termasuk mewakili nasib 240 ribu rakyat kategori miskin (11,87%) dan 40 ribu (2%) rakyat “miskin ekstrim” (tak berdaya untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar) – data BPS akhir 2024.

Kemiskinan tidak bisa dihapus hanya dengan acting yang disorot kamera”, tulis Suntana, seorang akademisi di kolom “kompas com” (14/2/2025). Artinya, kemiskinan di tangan bupati bukan citra untuk dinarasikan tapi angka angka “nyawa manusia” untuk diselamatkan nasibnya, ditarik ke atas ambang garis kemiskinan.

Dengan demikian persoalan kemiskinan di Indramayu bukan panggung drama misalnya sekedar peluk seorang lansia dipinggir jalan disorot kamera dengan “Selfi Selfi” – lalu diviralkan di media sosial. Itu cara berbohong di era “post truth”, sebuah era kebohongan yang diprogram seolah olah fakta.

Tentu terlalu “absurd”, jauh dari nalar publik berharap bupati misalnya seperti Khalifah Umar bin Khattab, seorang Khalifah yang keras dan tegas tiba tiba menangis tersedu sedu tak kuasa menanggung dosa seorang pemimpin melihat salah satu penduduknya tak berdaya sekedar untuk makan.

Tidak pula berharap seperti Umar bin Abdul Aziz, seorang Khalifah dalam sejarah “dinasti Umaiyah” saat begitu sigap memadamkan lampu istana hanya karena berdiskusi bersama puteranya tentang urusan keluarga, tidak terkait urusan rakyat. Sekali lagi terlalu “absurd”.

Pesan tulisan singkat ini bahwa bupati adalah imam setidaknya seorang bupati ibarat imam bukan sekedar memenuhi “syarat” dan “rukun” shalat tapi juga berakhlak terpuji sehingga layak menjadi imam.

Seorang bupati bukan sekedar tidak melanggar aturan menurut standart regulasi tapi bertindak sepenuhnya mempertimbangkan kepantasan di ruang publik, tidak “flexing” di media sosial di atas 240 ribu derita rakyat miskin Indramayu.

Nasehat Rasulullah “ibda’ bi nafsik”, mulai lah dari dirimu – adalah kunci bahwa keberhasilan kepemimpinan politik dalam sejarah peradaban adalah moralitas keteladanan.

Tanpa moral keteladanan – kepemimpinan politik ambyar tanpa nilai. Itulah beratnya menjadi bupati tapi mulia bagi yang menghayati panggilan bupati sebagai imam.

Wassalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *