banner 728x250

GURU DIGUGU DAN DITIRU KINI MENJADI GUGATAN DAN RUSAK

Siapa yang Bermain di Balik Tumpulnya Peran Guru Indonesia?

 

Oleh : Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa
Vice Director Confederation ASEAN Journalis CAJ PWI Pusat

Awalan
Dulu, guru adalah sosok yang digugu dan ditiru. Ucapannya adalah nasihat, perilakunya adalah teladan. Ia bukan sekadar pengajar, melainkan penjaga moral bangsa, penjaga nalar, dan penjaga jiwa anak negeri agar tetap berakhlak dan berakal sehat. Tetapi kini, zaman berganti, makna guru terguncang. Di negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan, justru guru sering menjadi pesakitan, dituduh, dilaporkan, bahkan dipenjara hanya karena mencoba mendisiplinkan muridnya yang mulai kehilangan arah.

Apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa guru yang dulu dihormati kini justru dijadikan kambing hitam?

Guru Kini di Persimpangan Zaman

Perubahan sosial dan teknologi telah mengubah ruang kelas menjadi medan konflik nilai. Murid datang ke sekolah bukan lagi untuk belajar, tapi untuk mencari pembenaran atas egonya. Sementara orang tua – yang dulu menyerahkan anaknya kepada guru dengan penuh kepercayaan – kini mudah menggugat ketika anaknya tersinggung, dimarahi, atau ditegur.

Guru tidak lagi punya kewibawaan, mereka harus berhati-hati, karena sedikit saja salah kata, bisa viral di media sosial dan berujung pidana.

Kita hidup di zaman ketika guru lebih takut pada kamera ponsel daripada murid takut pada kebodohan.

*Sisa-Sisa Pola Penjajahan yang Masih Bekerja*
Mari bertanya lebih dalam: apakah kondisi ini kebetulan?
Ataukah memang ada tangan tak terlihat yang berusaha melemahkan pilar pendidikan bangsa ini?

Sejarah mengajarkan bahwa kolonialisme tidak selalu berwujud senjata dan kapal perang. Kolonialisme baru bekerja melalui pembusukan nilai — dengan cara memutus mata rantai moral dan akal bangsa. Dan guru, sebagai penjaga utama nilai-nilai itu, menjadi target utama pelemahan.

Selama guru takut berbicara, takut menegur, takut mendidik dengan disiplin, maka generasi yang lahir adalah generasi tanpa karakter, tanpa arah, dan mudah diatur.
Bukankah itu yang diinginkan oleh sisa-sisa kolonialisme lama, bangsa besar yang tetap bermental budak?

Ketika Pendidikan Dipisahkan dari Akhlak

Sistem pendidikan kini didesain dengan logika industri — bukan kemanusiaan. Semua diukur dengan angka, bukan dengan nurani. Anak dinilai dari rapor, bukan dari moral.

Akibatnya, ketika guru menanamkan nilai-nilai akhlak, ia justru dianggap melanggar “batas profesionalisme”. Padahal, pendidikan sejati bukan sekadar transfer of knowledge, tapi juga transfer of virtue — perpindahan nilai dan kebijaksanaan hidup.

Namun kini, guru yang menegur murid malas disebut “abusive”, guru yang menampar murid nakal dipenjara, sedangkan murid yang menghina guru justru dilindungi oleh dalih “hak anak”.

Ini bukan sekadar ironi, ini tragedi bangsa.

Siapa yang Bermain di Baliknya?

Permainan ini kompleks. Ada tiga pihak yang diuntungkan:

1. Kaum birokrat pendidikan yang sibuk dengan proyek kurikulum tapi lupa pada ruh pendidikan.

2. Industri digital dan globalisasi budaya yang menjadikan generasi muda konsumtif dan anti-otoritas.

3. Kekuatan global yang ingin Indonesia tetap terbelenggu kebodohan moral — agar mudah dipecah dan dikendalikan.

Dengan melemahkan guru, maka hilanglah satu-satunya benteng terakhir bangsa. Dan ketika benteng itu runtuh, siapa yang akan menjaga masa depan anak-anak kita?

Mengembalikan Marwah Guru

Bangsa ini harus kembali pada akarnya: guru adalah pahlawan tanpa senjata.
Negara harus melindungi guru sebagaimana melindungi prajurit di medan perang, sebab mereka berjuang di medan yang lebih sulit, medan melawan kebodohan dan moral yang lapuk.

Mendidik itu bukan sekadar profesi, melainkan jihad kebangsaan. Maka sudah seharusnya, setiap orang tua, birokrat, dan masyarakat bersatu membela guru — bukan menggugatnya.

Karena ketika guru berhenti mendidik dengan hati, maka tamatlah bangsa ini.
Dan ketika guru takut berbicara, maka yang berkuasa hanyalah kebodohan.

Akhiran

Guru adalah cermin peradaban. Jika guru dilemahkan, berarti bangsa sedang menghancurkan dirinya sendiri.
Maka sebelum kita kehilangan segalanya, mari kita kembalikan lagi martabat guru sebagai yang digugu dan ditiru — bukan digugat dan dicaci. Karena tanpa guru yang kuat, tidak akan pernah ada Indonesia yang berdaulat, berkarakter, dan bermartabat.

Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa
Vice Director Confederation ASEAN Journalis CAJ PWI Pusat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *