Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan.
Tentu penulis tidak memahami bagaimana “Asbabun Nuzul”nya puncak acara peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 2025 PCNU Indramayu (26 Oktober 2025) memilih lokasi desa Sanca, sebuah desa “pinggiran” di kec. Gantar, Kab. Indramayu, jauh dari pusat kota pemerintahan Indramayu.
Pilihan desa “pinggiran” tersebut menarik dan “sexi” untuk dibaca. “Pinggiran” dan “santri” dalam perspektif sosiologis Dr. Zamakhsyari Dhofir dalam bukunya “Tradisi Pesantren” (1982) tidak berkonotasi negatif dan “kolot tradisionalis” sebagaimana sering dipakai dalam kategori pengamat asing dan “kaum modernis”.
Dalam perspektif sosiologis Dr.Zamakhsyari Dhafir, “pinggiran” dan “santri” adalah dua entitas sosial yang membentuk ekosistem desa yang “unik” dalam pengertian kultural di mana NU sebagai ormas Islam lahir dan bertumbuh.
Ini sering gagal dipahami “orang luar” termasuk peneliti asing sekelas Clifford Geezt yang menulis buku antropologi politik “Santri, Priyayi dan Abangan” (1956), bahkan tidak sedikit “orang dalam” NU sendiri hanya menyentuh sisi “kulit luarnya”. Itulah “rumitnya” membaca NU tapi disitu pula “asyiknya” membaca NU.
Minimal ada dua “keunikan” yang membentuk “subkultur” NU – dulu sering ditulis Gus Dur di beragam media Nasional (Tahun 1971-1990), sebuah perspektif tentang NU sebagai ormas Islam, sebagai “subkultur” kekuatan sosial kemasyarakatan dalam peta sejarah sosial politik di Indonesia.
Pertama, NU didirikan tidak mengikuti teori “modernisme global” melainkan titik perjumpaan isyarat “langit” dan keniscayaan tugas kekhalifahan di “bumi”. NU adalah “jamaah”, sebuah komunitas sosial keagamaan berbasis pesantren di pinggiran pinggiran desa yang “dijam’iyahkan”, diformalisasi dalam bentuk organisasi secara struktural. Itulah “kekecualian” NU
Kekuatan kultural NU mendahului kekuatan strukturalnya. Kekuatan NU adalah jaringan sosial pesantren dan sanad keilmuan, lebih kuat kohesinya dari sekedar ikatan organik struktural. NU sebagai “jam’iyah” bukan ibarat “mesin birokrasi” yang diatur ketat kecuali hal hal yang bersifat “qonun asasy”, ideologis keagamaan. NU ekosistem sosial yang membentuk pranata pranata kultural di desa desa.
Kedua, relasi historis berdirinya NU bukan saja peran besar kiai “desa”, lebih dari itu, secara simbiosis dan reseprokal bersifat timbal balik. Ekosistem sosial desa secara kultural adalah pilar penyangga utama NU dalam spektrum dan cara pandang banyak tokoh NU yang berasal dari desa di mana sanad keilmuan NU dirawat dalam ekosistem pesantren di desa desa.
Dalam spektrum cara pandang para kiai “desa” yang bersifat reseprokal itulah konstruksi tentang Islam diletakkan dalam konvergensi akulturasi budaya dalam relasi dengan elemen elemen sosial lain maupun dalam konteks relasi Islam dengan negara bersifat “komplementer”, saling melengkapi, tidak bersifat “head to head”, tidak saling berhadapan satu sama lain.
Perspektif tentang dua “keunikan” subkultur NU di atas, konteksnya hendak menegaskan bahwa pilihan lokasi puncak HSN PCNU Indramayu 2025 di desa Sanca, hendaknya tidak berhenti dibaca sebagai pilihan geografis dan taktis saja melainkan pilihan strategis dan paradigmatik.
Ini penting untuk meneguhkan kembali cara pandang keagamaan NU di atas (“Almuhafadloh”) meskipun harus membuka diri dan adaptif terhadap pilihan pragmatisme sosial baru secara taktis (“Al akhdu bil jadid Al aslah”).
Ini penting untuk “menjahit” lebih kokoh ekosistem NU dari “pinggiran” oleh karena era disrupsi sosial saat ini, sebuah era di mana tata nilai dan kohesi sosial mulai diruntuhkan penetrasi platform media sosial yang massif masuk ke “kamar kamar” privat warga NU di pinggiran pedesaan.
Penelitian LIPI (2018) meskipun data agak lama dan tidak khusus Indramayu melainkan lingkup Jawa Barat, memang populasi muslim di Jawa Barat sebesar 80% mengamalkan tradisi dan amaliyah NU, misalnya, ziarah kubur, tahilan, qunut di sholat shubuh, dua kali adzan dalam shalat Jum at tapi hanya 9% mengikatkan diri dalam relasi ormas NU.
Artinya, ruang kohesi sosial NU agak “longgar” di Jawa Barat – di Indramayu perlu dilakukan penelitian lebih mendalam. Anak anak muda keturunan keluarga NU mudah “terintimidasi” gaya muslim media sosial dan mulai percaya diri , tidak takut dituding radikal dan intoleran, bahkan terlibat dalam aksi aksi “Islam kota”, gerakan modernisme Islam.
Data survey Duet ilmuan Marcus Meizner dan Burhanudin Muhtadi (2028) dalam paper berjudul “The Myth Of Nahdlatul Ulama” mengkonfirmasi gambaran kuantitatif bahwa warga NU di level akar rumput di Jawa Barat “lebih tebal” tingkat intoleransinya dibanding Jawa Tengah dan Jawa Timur terkait isu toleransi dan kebhinnekaan.
Di sini, sekali lagi, pentingnya NU kembali digerakkan dari “pinggiran” dengan titik “kick off” secara simbolik dari desa Sanca tempat puncak HSN 2025 PCNU Indramayu diperingati untuk memproteksi warga NU di level akar rumput dari kecenderungan intoleran sebagaimana terbaca dari trend data survey di atas.
Hanya NU dalam pandangan penulis ormas Islam yang paling lengkap memiliki pranata pranata sosial dibanding ormas ormas Islam lain di tingkat pedesaan seperti jaringan pesantren, majelis taklim, mushalla kecil, dll.
Inilah ekosistem sosial penangkal fenomena trend intoleransi dengan pendekatan soft kultural paling efektif, tidak menggertak gertak secara eksplosif, bahkan tidak dimiliki institusi institusi negara sekalipun kecuali perangkat keras bersifat kewenangan.
Selamat HSN 2025. Menguatkan Aswaja dari pinggiran Indramayu untuk mengokohkan Indonesia lahir batin. Itulah amal jariyah kebangsaan NU di tengah tantangan era disrupsi sosial.
Wassalam