Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
Pembelaan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terhadap kiai dan pesantren yang belakangan bertubi tubi dipersekusi secara digital oleh framing jahat pihak pihak tertentu bukan “pembelaan elektoral” tapi “pembelaan ideologis”.
Partai yang hanya bekerja untuk kepentingan politik elektoral dalam teori politik George Orwell selalu terjebak pada pencitraan mengkonstruksi kebohongan agar terlihat jujur dan terhormat. Politik hanya “game”, bukan jalan mulia.
Itulah bedanya PKB sebagai “subkultur” politik di Indonesia,
satu satunya partai politik yang “built in” lahir dari “rahim” NU, ormas Islam terbesar di Indonesia dan NU lahir dari simpul simpul komunitas jaringan sosial pesantren. Pesantren, NU dan PKB adalah “tripartit” secara ideologis.
Konteks itu yang menjelaskan agadium kultural bahwa NU adalah pesantren besar dan pesantren dengan “elemen dasar” kiai dan santri di dalamnya adalah NU kecil, keduanya diikat oleh sanad ideologis yang sama, yakni Ahlus Sunnah Wal jamaah (Aswaja) di mana PKB adalah instrument politik praktisnya.
Jika hari ini hanya PKB yang tampak membela pesantren Buduran Sidoarjo yang dipersekusi karena rubuhnya mushalla pesantren yang menelan korban jiwa dan membela kiai sepuh pesantren Lirboyo dari framing jahat trans7 bukan pembelaan “politik elektoral musiman”.
Itulah “DNA” dan jati diri ideologis PKB sebagai partai politik, sekali lagi, satu satunya “subkultur” politik di Indonesia yang memiliki legitimasi historis, ideologis dan aspiratif serta keabsahan moral untuk membela pesantren dan kiai, dua basis kultural penyangga titik temu keislaman dan kebangsaan.
PKB adalah jalan perjuangan politik ideologis dalam konstruksi “nation state”, yakni negara kebangsaan Indonesia, sebuah instrument perjuangan politik praktis dalam perjuangan “kaum santri” membumikan poltik “Aswaja” untuk kohesi kohesi sosial bangsa Indonesia.
Karena itu, keberhasilan PKB menggolkan Undang Undang Pesantren dan Hari Santri, dua identitas kultural Aswaja (NU) dalam lembaran negara jangan hanya dibaca sebagai “kemenangan politis” bersifat regulasi, lebih dari itu, untuk memperkokoh pilar sosial “negara kebangsaan” Indonesia.
Di situlah posisi politik PKB untuk menjaga politik Aswaja dalam epicentrum negara kebangsaan Indonesia untuk tidak mengulangi apa yang dulu terjadi di Arab Saudi tanpa kekuatan politik praktis Arab Saudi yang “Sunni” luluh lantak diserang operasi politik “Wahabi” yang hari ini berkuasa di Arab Saudi.
Sebaliknya Mesir yang dulu dikuasai ideologi “Syi’ah Fatimiyah” dengan kekuatan politik praktis dibalik menjadi “negara Aswaja” di mana Universitas Al Azhar, universitas tertua dan paling berpengaruh di Mesir kini menjadi tempat berhimpun para mahasiswa dan intelektual dari berbagai negara bertumbuh kuat dalam ideologi Aswaja.
Dulu tanpa otoritas keagamaan NU (Aswaja) sulit dibayangkan bagaimana Bung Karno yang tidak dipilih rakyat atau MPR RI bisa efektif memimpin negara kecuali NU memberikan mandat “Waliyul Amri Adduhury Bil Syaukah”, (1952), pemimpin darurat tapi dengan kekuasaan penuh – sehingga tidak terjadi “pembangkangan sipil” terhadap kuasa Presiden Bung Karno
Dulu tanpa kedudukan “moral” KH. Hasyim Asy’ary, Rois Akbar NU, sulit dibayangkan fatwa “Resolusi Jihad” tanggal 22 Oktober 1945, yang di kemudian hari menjadi spirit Hari Santri Nasional (HSN) – bisa memantik para santri dan elemen lain datang dari berbagai daerah ke Surabaya untuk melawan agresor Belanda dan sekutu sehingga Indonesia tetap eksis sebagai negara merdeka.
Jadi, PKB membela kiai dan pesantren karena PKB “built in”, perangkat dalam pesantren dan NU, sebuah kepanjangan tangan untuk instrument politik praktis dari doktrin ideologis NU, partainya “kaum santri” dalam menjaga keutuhan negara kebangsaan Indonesia. PKB adalah penerus historis ideologi keagamaan NU secara politik.
Dalam konteks itulah, dengan kekuatan elektoral “kaum santri” sebesar 18% secara Nasional (merujuk perolehan partai NU 18% di pemilu 1955 dan pemilu 1971) lalu “Nikmat politik yang manalagi yang hendak dipalingkan oleh kaum santri untuk tidak memilih PKB?”, kira kira begitu semesta berfatwa.
Wassalam