Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan.
MUSYAWARAH Kerja Cabang (Muskercab) III PCNU kab Cirebon yang dilaksanakan dalam satu paket acara “seremoni” dengan Halal Bi Halal PCNU kab Cirebon di “Komplek Taman Cirebon Power” hari ini (3 Mei 2025) penting diletakkan dalam konstruksi ikhtiar menyegarkan NU Kab Cirebon sebagai kiblat kultural NU di Jawa Barat.
NU Kab Cirebon adalah “Jombang” nya Jawa Barat setidaknya itulah perspektif penulis dalam konstruksi tulisan Gus Dur berjudul “Pesantren Sebagai Subkultur” (1974), diperkokoh dalam penelitian disertasi Dr. Zamakhsyari Dhofir yang di kemudian hari dibukukan dengan judul “Tradisi Pesantren” (1982).
Jika di Kab Jombang Jawa Timur terdapat 4 pesantren sebagai representasi kultural NU, yakni pesantren Tebuireng, Tambak Beras, Denanyar dan Paterongan – di Kab Cirebon Jawa Barat terdapat 4 pesantren besar “paku kultural” NU, yakni pesantren Babakan, Buntet, Kempek dan Arjawinangun.
Keempat pesantren di atas baik di Kab Jombang Jawa Timur maupun di Kab Cirebon Jawa Barat lebih dikenal dengan identitas “lokal geografis” di mana pesantren lahir dan bertumbuh dibanding nama lembaga dalam bahasa arab misalnya pesantren “Mambaul Ulum”, dan lain lain .
Dalam perspektif Gus Dur ini menunjukkan sikap “kenyal” kiai kiai NU dalam meletakkan Islam dalam spektrum budaya lokal bahwa Islam tidak dalam posisi “Vis a Vis” dengan budaya lokal melainkan menurut Gus Dur keduanya dalam relasi bersifat “komplementer”, saling tumpang tindih satu sama lain. Inilah yang disebut Gus Dur dengan konsepsi “Pribumisasi Islam”
Jika Muktamar NU ke 33 tahun 2015 , NU sebagai “jam’iyah” memasuki usia ke 91 tahun, digelar di basis kultural utama NU di Jombang, dalam visi KH Said Aqil Siradj, Ketum PBNU (2010 – 2021) disebut “NU Back To Pesantren” tentu penting diimajinasikan pentingnya Muktamar NU kelak digelar di Kab Cirebon sebagai kiblat kultural NU di Jawa Barat.
Perspektif diatas tidak dalam konteks penegasan dominasi NU (Jawa) di atas spektrum etnisitas budaya lain kecuali menyegarkan NU di Jawa Barat meskipun sebagai “jam’iyah” dengan struktural hingga ke tingkat desa tapi kekuatan NU sebagai gerakan kultural keagamaan tidak dapat diabaikan.
Inilah “pekerjaan rumah” (“PR”) NU sebagai “jam’iyah”, sebagai ormas Islam, yakni menjaga relevansi NU di tengah “turbulensi” dan goncangan dahsyat perubahan sosial akibat penetrasi media sosial masuk ke “kamar kamar” dan ruang ruang privat warga NU.
Penetrasi media sosial “lintas batas” teritorial negara dengan konten konten ideologi “trans nasional” mulai mengubah mindset, dan perilaku akar rumput warga NU, rentan terpapar sikap “intoleran”, ekslusif terhadap perbedaan, tidak memadai dihadapi “hanya” dengan “show of force” teriakan “NKRI harga mati”.
Kemampuan NU menjaga relevansinya dalam menghadapi tantangan sosiologis di atas akan menentukan eksistensi NU sebagai ormas Islam garda paling terdepan dalam mengawal Pancasila sebagai “Mu’ahadah Wathaniyah”, sebuah konsensus final kebangsaan sebagai arah kiblat bangsa
NU sebagai “jam’iyah”, sebagai ormas Islam, didirikan tidak mengikuti teori “modernisme global”, tidak semata mata desain formalisme organisatoris dan “diktat diktat” aturan formal. Kekuatan kultural NU mendahului bangunan kekuatan strukturalnya.
Berdirinya NU sebagai ormas Islam adalah titik temu perjumpaan “isyarat” langit dan tanggung jawab “kekhalifahan fil ardi”, mandat kepemimpinan peradaban “di bumi”. Kekuatan struktural NU adalah ekosistem sosial kultural dan suasana kebatinan warga NU.
Dalam perspektif inilah “PR” NU sebagai “jam’iyah” hari hari ini dan hari hari mendatang tidak memadai lagi hanya dipahami sebagai “jam’iyah” atau ormas Islam semata mata dalam bentuk penegasan level identitas dan atribut lahiriyahnya.
NU sebagai “jam’iyah” tidak cukup hanya dihayati sebagai kerja kerja struktural apalagi didesain sebagai kerja politik bersifat afiliatif elektoral “musiman”, NU bisa defisit kekuatan basis kultural sosialnya.
Proyeksi kerja struktural “jam’iyah” NU ke depan adalah kerja kerja konsolidasi “kultural” menguatkan ekosistem sosial, memproteksi pemahaman keagamaan di level “jama’ah” NU.
Pendidikan NU baik pesantren maupun pendidikan umum, pembinaan majelis majelis taklim, masjid, mushalla, generasi milenial dan “gen z” harus dikonstruksi secara adaptif tidak semata mata tentang penguasaan “kitab kuning” dan penegasan identitas jam’iyah nya.
Spirit pandangan moderat “kuning kuning” sebagai salah satu elemen dasar pesantren NU, mengutip disertasi Dr. Zamakhsyari Dhofir, harus ditransformasikan dalam cara berfikir umat sebagai blocking terhadap konten konten ideologi “trans nasional” yang bertolak belakang dengan cara pandang keagamaan NU.
Itulah “pekerjaan rumah” NU, sebuah pekerjaan tidak mudah menjaga relevansi kerja NU di tengah tantangan arus dahsyat media sosial.
Akan tetapi itulah jalan NU mengawal arah kiblat bangsa, yakni Pancasila tetap kokoh menjadi arah penuntun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penulis sungguh percaya PCNU Kab Cirebon dengan basis kekuatan “subkultur” pesantren sangat mapan, SDM sangat memadai dengan kualitas intelektual sangat kredibel mampu menyegarkan gerakan kultural NU Kab Cirebon.
PCNU kab Cirebon adalah titik epicentrum transformatif kekuatan kultural NU di Jawa Barat, sebuah Provinsi dalam penelitian Prof Burhanuddin Muhtadi (2018) dipandang sangat rentan terpapar sikap “intoleransi”, bahkan radikalistik.
Muskescab III PCNU Kab Cirebon kali ini hemat penulis layak menjadi wadah “brainstorming”, pemantik awal diskusi ke arah kerja kerja konsolidasi kultural di atas. Selamat !!!
Wassalam.