Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan.
NU sebagai “Jam’iyah Diniyah Wal Ijtimaiyah”, organisasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan jelas “la raiba fih”, tidak ada keraguan sedikit pun tentang keterkaitan sanad ideologis NU dengan paham “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”, disingkat “Aswaja”
NU adalah representasi organik “nyaris sempurna” dari paham “Aswaja” dalam spektrum ormas ormas Islam di Indonesia baik sebagai “Manhajul Fikr” (landasan berfikir) maupun “Manhajul Harokah” (landasan bertindak/ gerakan). Clear !!!.
Problemnya tentang pilihan yang disebut dalam kaidah NU “Almuhafadhoh ‘Ala Al Qodimish Shalih, Wal Akhdu Bil Jadidil Aslah”, kemampuan mempertahankan prinsip “Aswaja” di satu sisi dan kepiawaian pilihan taktis di sisi lain sebagai strategi merespon tantangan era media sosial.
Dalam penelitian ‘Boston Consulting Group” (2018) media sosial cenderung menggiring publik serba instan, dangkal, gemar peristiwa viral, malas baca “literasi”, rentan dipermainkan politik “post truth”, yakni politik kebohongan yang konstruksi seolah olah fakta – lalu hanya bisa menyesal kolektif.
Dalam perspektif itulah kita letakkan urgensi “Sekolah Aswaja” yang diinisiasi PMII Indramayu di Universitas Darul Ma’arif (UDM) Kampus Hijau Kaplongan (8/2/2025), sebuah lembaga pendidikan tinggi NU sangat representatif di Indramayu
Artinya “Sekolah “Aswaja” untuk rumpun “Gen-z” NU (17 – 28 tahun), penting diproyeksikan menghadapi keniscayaan tantangan era media sosial tersebut. Komunitas NU masih di level “tabiien” (“followers”) – belum di level “influential group”, kelompok berpengaruh kuat di media sosial.
Tentang paham keagamaan “Aswaja” meskipun rumit tentu bukan wacana baru bagi PMII, sayap organik pergerakan mahasiswa yang lahir dari “rahim” NU. Karena itu tulisan ini hanya memberikan perspektif secara garis besar.
Paham keagamaan “Aswaja” lahir dari “hulunya” tidak lepas dari persoalan konflik politik di era para sahabat lalu merambat menjadi sekte dan aliran aliran pemikiran keagamaan dalam Islam, di lembaga studi non Islam disebut rumpun studi “Islamologi”.
Paham keagamaan “Aswaja” meliputi tentang “Iman” (Aqidah, keyakinan), “Islam” (Fiqih, norma hukum) dan “Ihsan” (Tasawuf, akhlak, perilaku).
Pertama, secara Aqidah mengikuti Aqidah “Al As’ariyah” dan “Al Maturiyah”, paham moderat, jalan tengah dari aliran “ekstrem” (Al ghuluwu) “Mu’tazilah” atau disebut “Rasionalism” dan aliran ekstrem sebaliknya “”Jabariyah” (ketundukan mutlak non ikhtiary manusiawi).
Kedua, di bidang fiqih mengakui dan mengikuti salah satu dari empat madzhab besar dalam Islam (“Madzahibul Arba’ah”) : Hanafi, Maliki, Syafie dan Hanbali. Madzhab Syafiie relatif paling “kompatibel” dan dominan di Indonesia.
Ketiga, di bidang tasawuf, mengikuti Imam Al Junaed Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali, moderasi antara aspek “lahir” dan aspek “batin”. Agama tidak kering, tidak “mekanik”, tidak berhenti soal halal haram, bid ‘ah. Agama dinikmati lebih “syahdu” dalam alunan dzikir, shalawat dll.
Dalam sejarah kekhalifahan Islam ada tiga dinasti besar, berkuasa sangat lama dan sangat berpengaruh dalam pemikiran Islam.
Dinasti Umaiyah (661 – 750) dinasti Abbasiyah (750 – 1258) dan dinasti “Turki Ustmany” (1258 – 1924) – semuanya menganut ideologi politik “Aswaja” kecuali Mesir dulu dikuasai dinasti Fatimiyah menganut ideologi “Syi’ah”.
Kitab kitab di bidang ilmu Kalam, ilmu fiqih, tasawuf dan bahasa umumnya tumbuh dan berkembang di era tiga dinasti Islam di atas – penganut ideologi “Aswaja” – disebut “turots”, menjadi pelajaran utama di pesantren pesantren, dikenal dengan sebutan “kitab kuning”.
Melalui pengajaran kitab kitab itulah paham Aswaja”
bertumbuh di dunia pesantren menjadi “Manhajul Fikr” (Landasan berfikir) dan “Manhajul Harokah” (landasan bertindak/gerakan).
Para Ulama pendiri pesantren mayoritas menimba ilmu di Negeri “Hijaz” (Makkah dan Madinah) saat itu di bawah kekuasaan Turky Ustmani berpaham “Aswaja” – sejak tahun 1924 Saudi Arabia mutlak dikuasai paham “Wahabi”, bahkan resmi menjadi paham tunggal kegamaan negara Saudi.
Dalam sanad keilmuan kitab kuning itulah kita memahami titik sambung ketika kiai kiai para pendiri pesantren berhimpun mendirikan NU tahun 1344 H /1926 M maka “Qonun Asasi” (atau semacam UUD nya NU) sebagai ormas tak lain adalah kristalisasi dari pikiran dan pandangan keagamaan yang diajarkan dalam kitab kitab “kuning” tersebut.
Karena itu karakter nilai dasar NU yang bersumber dari khazanah kitab kitab kuning pesantren adalah karakter paham keagamaan “Aswaja” yakni Tawashut (berperilaku moderat), “Tasamuh” (bersikap toleran), ‘Tawazun” ( bertindak seimbang) dan “i’tidal”, berpihak pada keadilan).
Doktrin keagamaan “Aswaja” di atas itulah yang membingkai landasan berfikir dan bertindak NU dalam perjalanan kiprahnya dalam gerakan sosial.politik kebangsaan baik sebagai “ormas” maupun saat menjadi partai politik peserta pemilu (1952 – 1973).
NU di garda terdepan meletakkan dasar dasar yang kokoh relasi Agama dan negara, relasi Islam dan Pancasila, relasi kitab suci dan konstitusi – dituangkan dalam hasil Muktamar NU ke 27 tahun 1984, di Situbondo, Jawa Timur.
Dalam proyeksi keniscayaan tantangan di era media sosial kita tidak boleh berhenti hanya pada kebanggaan “legacy” masa lalu. Hal itu harus dipertahankan tapi adaptif terhadap tantangan sosiologis ke depan.
Di sinilah tantangan PMII sebagai “gen z” (17 – 28 tahun) harus mampu menjadi “agen” tranformasi sosial dengan antara lain menjadikan lembaga pendidikan NU sebagai pilihan ekosistem sosial pendidikan warga NU. Mereka akan bertumbuh dalam proses “internalisasi” paham “Aswaja” secara kuat menghadapi arus media sosial dan tidak mudah “eksodus” keluar.
Bahkan, lebih dari itu, lembaga pendidikan adalah “jalan teruji dan terpuji memotong mata rantai kemiskinan warga NU”, mengutip statement Prof Moh. Nuh, Mendiknas, era SBY, Rois Syuriah PBNU.
Wassalam.