Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
Ada tiga kerugian konstitusioal yang akan ditanggung DPRD akibat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) no 135/PPU-XXII/2024 tentang pemisahan “pemilu nasional” tahun 2029 dan “pemilu daerah” tahun 2031 – jika benar benar diberlakukan.
Pertama, putusan MK tersebut potensial “memperpendek” masa jabatan DPRD tidak genap “lima tahun” karena perlu dilakukan “pemilu transisi” untuk DPRD pada tahun 2027.
Pemilu “transisi” untuk DPRD tahun 2027 satu satunya jalan “rekayasa konstitusional” menuju keserentakan “pemilu daerah” DPRD bersama pilkada lima tahun berikutnya, yakni tahun 2031 sebagaimana putusan MK tersebut.
Konstitusi, yakni UUD 1945 tidak memberi pintu sedikit pun opsi perpanjangan masa jabatan DPRD. UUD pasal 18, ayat 4 menegaskan bahwa DPRD diisi oleh hasil pemilu (tidak ada opsi diisi “penjabat sementara”) dan pasal 22 E tegas bahwa pemilu DPRD sebagaimana pemilu untuk DPR, DPD dan pilpres “setiap lima tahun sekali”.
Tafsir konstitusional “lima tahun” dalam UUD tersebut bersifat maksimal, tidak bisa ditambah tapi bisa dikurangi. Karena itu, jalan satu satunya rekayasa konstitusional adalah memperpendek masa jabatan DPRD untuk dilakukan “pemilu transisi” DPRD tahun 2027, menuju keserentakan “pemilu daerah” tahun 2031.
Kedua, jika dipaksakan opsi perpanjangan masa jabatan DPRD maka publik dengan mudah melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas surat keputusan perpanjangan masa jabatan DPRD.
Hal ini potensial dikabulkan pengadilan karena SK perpanjangan DPRD tidak bersandar pada konstitusi. DPRD akan kehilangan mandat konstitusionalnya, bertentangan dengan konstitusi alias UUD 1945 (pasal 22 E ayat 1 & 2).
Ketiga, akibat turunannya dan bersamaan dengan itu secara politik rakyat memiliki alasan untuk melakukan “pembangkangan sipil” terhadap DPRD karena eksistensi DPRD melewati batas mandat konstitusionalnya.
Batas maksimal mandat konstitusional DPRD lima tahun dalam satu periode, jika melebihi maka bertentangan dengan UUD 1945 pasal 22 E di atas. Di sinilah potensi kevakuman legitimasi konstitusional DPRD.
Perspektif di atas itulah yang menjelaskan bahwa satu satunya jalan “rekayasa konstitusional” untuk menindaklanjuti putusan MK di atas dalam kajian konstitusi menurut sejumlah pakar hukum tata negara,
Yakni memperpendek masa jabatan DPRD dengan melakukan “pemilu transisi” untuk DPRD tahun 2027 menuju keserentakan “pemilu daerah” (DPRD dan pilkada) tahun 2031.
Itulah bedanya pemilu untuk DPR, DPD dan pilpres serta DPRD dengan pilkada. Pemilu DPR, DPD dan pilpres serta DPRD diatur UUD 1945 pasal 22 E wajib dilaksanakan setiap lima tahun sekali, tidak boleh diisi “penjabat sementara” kecuali oleh hasil pemilu.
Sementara pilkada dalam UUD 1945 tidak diatur harus lima tahun sekali sehingga lebih “mudah” dilakukan “rekayasa konstitusional” melalui revisi Undang Undang, tidak perlu amandemen UUD untuk mengisinya dengan “penjabat sementara”
Jadi, problemnya tidak terletak pada persoalan serentak atau tidak serentak, digabung atau dipisah antara pemilu nasional dan pemilu daerah tapi menarik mundur pemilu untuk DPRD pada tahun 2031 sebagaimana putusan MK tersebut demi Keserentakan dengan pilkada – itulah yang bertentangan dengan konstitusi/UUD 1945.
Jalan konstitusional untuk bisa dilakukan perpanjangan masa jabatan DPRD hanya dapat dilakukan lewat amandemen UUD 1945 oleh MPR RI atau “dekrit” Presiden, tdak bisa diatur dalam revisi Undang Undang Pemilu, bertentangan dengan UUD 1945.
Tapi terlalu “mahal’ untuk dilakukan amandemen UUD 1945 atau “dekrit” Presiden hanya untuk mengakomodasi putusan MK tersebut. Sekali UUD 1945 diamandemen hanya karena putusan MK saat itulah negara tidak memiliki UUD 1945 lagi, selalu di bawah ancaman putusan MK yang disebut final dan mengikat.
Karena itu, dapat dimengerti jika sejumlah partai menolak terhadap putusan MK tersebut bukan sekedar MK telah bertindak melampaui kewenangannya yang dimandatkan UUD 1945 .
Lebih dari itu justru karena putusan MK ini berpotensi menjadi pintu masuk merubah tatanan konstitusi bernegara dengan putusan putusan yang menabrak nabrak ketentuan UUD 1945.
Maka kembalilah ke jalan yang benar, tunduk terhadap UUD 1945 termasuk MK secara murni dan konsekuen. UUD 1945 adalah satu satunya “induk” dasar dasar kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini.
Wassalam