banner 728x250

KRITIK KH IMAM JAZULI TERHADAP PBNU DAN URGENSI REPOSISI NU DALAM RELASI KEKUASAAN : MENCEGAH NU TERTINDIH KASUS

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

.
Menarik membedah dan memperluas spektrum kritik tajam dari tulisan KH. Imam Jazuli, Lc. MA, berjudul “Zionisme Nahdliyyah dan Urgensi Rais Aam Mundur” (“Disway.id”, 8/9/2025), sebuah kritik yang menukik ke jantung epicentrum PBNU.
.
Kritik KH imam Jazuli dalam tulisan di atas membentang dari soal infiltrasi zionis ke tubuh NU yang disebutnya “Zionisme Nahdliyyah” hingga prilaku elite PBNU – menurutnya tidak hanya “pragmatis” tapi secara politik lebih dalam lagi “oportunistik”.

Penulis tidak memiliki kompetensi memadai menelaah lebih dalam relasi geopolitik zionisme masuk ke tubuh NU tetapi analisis KH imam jazuli bahwa PBNU bukan sekedar pragmatis, lebih dalam lagi “oportunis” secara politik – menarik diperluas spektrumnya.

0portunisme politk PBNU inilah menurut KH imam Jazuli meruntuhkan pijakan moral yang kokoh yang dicontohkan para muasis (pendiri) NU. Kasus dugaan korupsi Kouta haji yang menyeret nyeret PBNU saat ini hanyalah output dari oportunisme politik para elite PBNU sehingga NU sebagai ormas Islam secara moralitas ikut tertindih.

Penyebabnya atau “Illat” dalam istilah pesantren, adalah rapuhnya PBNU berpegang pada prinsip “tawashut”, salah satu pilar penting ideologis NU. Definisi “tawashut” secara politik dalam perspektif Gus Dur, yakni berdiri tegak di tengah di antara keseimbangan relasi politik rakyat dan negara (kekuasaan).

Gus Dur saat menjadi ketua umum PBNU mempraktekkannya nyaris sempurna. Beliau kritik keras pa Harto karena negara yang dipimpin pa Harto saat itu terlalu kuat, cenderung mengendalikan paksa rakyat dan negara cenderung bertindak “semaunya” terhadap rakyat.

Sebaliknya ketika pa Harto tak berdaya dalam tekanan dahsyat unjuk rasa tahun 1998 – Gus Dur datang “sowan” ke pa Harto untuk keseimbangan politik. Pasalnya jika pa Harto (negara) terlalu lemah berpotensi besar terjadi anarkhisme arus bawah yang merusak dalam eskalasi yang sangat massif.

Dalam.Muktamar NU (ke 30) tahun 2000 di pesantren Lirboyo Kediri,, Gus Dur mengingatkan NU tidak berhenti kritik pemerintah justru saat Gus Dur menjadi Presiden, memimpin pemerintahan. Gus Dur paham betul kekuasaan tanpa kritik pasti “curropt absolutely”, meminjam istilah Lord Action, atau “Attakatsur”, ugal ugalan, rakus dalam istilah Al Qur an.

Greg Barton salah satu Analis Asing yang tekun mengamati NU dan Dr. Maswadi Rouf, pengamat politik dengan kekhususan analisis tentang NU – untuk menyebut sebagian pengamat – membaca NU di bawah kepemimpinan Gus Dur adalah kekuatan masyarakat sipil pelopor sosiologis demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sayangnya, PBNU di bawah duet kepemimpinan Rois Aam, KH. Miftahul Akhyar, dan ketua umum KH Yahya Chalil Staquf – sering disapa “Gus Yahya” meskipun mengusung visi “menghidupkan Gus Dur” dibaca publik, bahkan oleh sebagian besar warga NU, sangat berbeda dari Gus Dur dalam spirit meletakkan NU dalam relasi negara (kekuasaan)

Prinsip “tawashut” sejak era presiden Jokowi terutama dalam periode keduanya, dipaksa menyempit maknanya, tidak sebagaimana definisi Gus Dur di atas, lebih diartikan moderat yang tidak moderat, cenderung dimaknai membela minoritas dan melekat pada kekuasaan, bukan membela prinsip keadilan dalam bernegara.

Dalam konstruksi itulah PBNU saat ini dibaca KH. Imam Jazuli cenderung “oportunis” secara politik, NU lebih sebagai “tools”, perangkat atau instrument politik penyangga dalam relasi kekuasaan politik dengan deal deal konsesi jabatan politik, konsesi tambang, dan lain lain.

Dampaknya sangat dahsyat. NU sebagai ormas seolah kehilangan “hak moral”untuk bersuara ketika terjadi eskalasi unjuk rasa agresif, pengrusakan dan penjarahan. Suara moral NU tengelam disayangkan publik seolah olah NU tak lebih hanya ornamen yang melekat pada kekuasaan yang justru dikritik publik.

Posisi ideal NU dalam tulisan penulis sebelumnya berjudul “Amal Jariyah politik kebangsaan NU” seharusnya “dekat tapi tidak melekat”, dekat bekerja sama dengan siapa saja termasuk dengan pemerintah tapi tidak “melekat”, tidak kehilangan independensinya ketika suara moral NU harus dinyaringkan.

Rejim politik boleh datang dan pergi tetapi NU harus berdiri tegak secara “tawashut”, di titik tengah mengawal proses keadaban kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah NU sebagai kekuatan jalan peradaban melintasi semangat jaman sebagai bagian dari kekuatan masyarakat sipil.

Itu pula yang diamanatkan Muktamar NU ke 27 tahun 1984 di Pesantren Asembagus Probolinggo Jawa Timur tentang “9 pedoman berpolitik” bagi warga NU – point 4 dan point 5 relevan penulis kutip di bawah ini :

Point 4 : berpolitik bagi warga NU (apalagi bagi pengurusnya – tambahan dari penulis) haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang berketuhanan yang maha esa dan kemanusiaan yang adil dalam beradab.

Point 5 : berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani, moral agama, konstitusional dan adil.

Pedoman berpolitik bagi warga NU di atas adalah sandaran moralitas, cara berfikir dan bertindak warga NU,apalagi para pengurusnya, dalam kerangka politik..

NU bukan sekedar “jam’iyah” – ormas Islam biasa, tidak dapat dimonopoli oleh pengurusnya. NU tidak didirikan mengikuti trend teori organik “modernisme global” melainkan perjumpaan isyarat langit dengan tugas kekhalifahan di bumi.

Artinya, NU adalah “jamaah”, komunitas sosial keagamaan yang membentuk semacam “sub kultur”, meminjam istilah Gus Dur, lalu diormaskan secara struktural karena kebutuhan jaman. Karena itu, kekuatan moralitas kultural NU mendahului kekuatan strukturalnya.

Itu yang menjelaskan NU lahir, tumbuh, kuat, besar dan teruji dalam sejarah bukan karena “asuhan” dan “asupan” politik kekuasaan manapun. Masa depan NU pun tidak ditentukan oleh rejim penguasa manapun melainkan kekuatan moralitas kultural dan ketaatan spritualitas warga NU sendiri sebagai penyangganya.

Karena itu, dalam konteks ini bukan sekedar soal bagaimana KH. Miftahul Akhyar, legowo mundur dari posisi Rois Aam PBNU sebagaimana kritik KH Imam Jazuli di atas dan bukan tentang desakan mundur Gus Yahya sebagai ketua umum PBNU sebagaimana diminta sejumlah tokoh pesantren via media sosial.

Lebih dari itu, urgensinya bagaimana PBNU menegaskan reposisi ulang NU dalam posisi “tawashut” yang sebenar benarnya secara politik sebagaimana diuraikan di atas. Tanpa penegasan reposisi politik diatas, kasus Gus Yaqut terkait dugaan korupsi Kouta haji yang menyeret PBNU dalam pusaran kasus potensial selalu berulang dalam kepingan kepingan kasus yang lain.

Pasalnya, seperti ditegaskan KH imam Jazuli dalam tulisan di atas, “Semua berakar dari satu penyakit yang sama, yaitu oportunisme politik, pragmatis dan transaksional. Mungkin itu biasa saja bagi pengurus yang dekat dengan kekuasaan, tetapi menjadi problem serius dan fatal bagi warga NU yang masih berpegang dengan nilai khittah jam’iyah NU”, tulisnya.

Pointnya, NU sebagai ormas Islam sandarannya bukan soal kepiawaian membantah tidak terlibat dalam pusaran sebuah kasus menurut norma hukum positif melainkan soal menjaga legitimasi moralitas NU di hadapan warga NU tempat di mana mereka bermakmum kepada pucuk pimpinan NU.

NU sebagai “jam’iyah”, sebagai ormas sangat mungkin tidak terlibat dalam pusaran kasus yang melilit Gus Yaqut dkk tetapi ketika terlalu banyak para elite pucuk pimpinan NU sebagai tokoh yang dikenal di media publik dipanggil KPK – inilah problem moralitas tak terhindarkan menjadi “nyinyiran” publik.

Menghindari potensi di pusaran kasus itulah letak menjaga marwah, harkat dan martabat NU sebagai “jam’iyah”, ormas rujukan mayoritas muslim di Indonesia.

Wassalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *