Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
Prof. Dr. Nazarudin Umar adalah menteri agama, meminjam diksi Al Qur’an(Q S. Ibrohim, 24) “menjulang langit membasis bumi”. Menteri yang intelektual mendunia (dari IAIN – UIN hingga McGill, Monterial, Kanada) sekaligus “original” birokrat santri yang membumi.
Sebagai santri, beliau santri dalam definisi yang “komplit” baik dalam definisi kultural yang dikonstruksi Dr. Zamahsyari Dhofir dalam bukunya berjudul “Tradisi Pesantren”(1982) maupun santri dalam kategori antropologi politik Clifford Geezt, penulis buku “The Religion Off Java”, – edisi Indonesia berjudul “Santri, Priyayi Dan Abangan”.
Konvergensi atau titik lebur tiga variabel keunggulan Prof. Nazarudin Umar di atas, yaitu santri, birokrat dan intelektual saling melengkapi satu sama lain, menguatkan legitimasinya secara sosiologis, profesional dalam sistem kerja birokrasi dan inovatif secara intelektual menghadapi tantangan kebutuhan jaman.
Tiga variabel keunggulan itulah yang menjelaskan beliau mendapatkan penilaian kinerja dan citra positif dari empat lembaga independen dan kredibel, yaitu, lembaga “Certified Information Systems Auditor” (CISA), “Center Of Economic And Low Studies (CELIOS), survei harian “Kompas” dan survei “Muda ID” – dalam kuartal kedua tahun 2025.
Indeks variabel penilaiannya berdasarkan relevansi dan inklusivitas kebijakan, “infuential leader” atau kualitas kepemimpinan dan komunikasi publik yang menggerakkan dengan tingkat citra positif sebesar 95,6%, tertinggi dari seluruh menteri dalam kabinet “merah putih”.
Titik tekannya pada program penguatan moderasi beragama, transformasi digital, reformasi birokasi, keterbukaan informasi, layanan publik yang efektif, efisien dan inklusif dan dampak kebijakan terhadap maslahat dan harmoni masyarakat.
Itu artinya apa yang dulu disebut Prof Nurcholis Madjid dengan teori “mobilitas vertikal” bahwa komunitas sosial santri telah naik ke atas sejajar dan setara dengan rumpun sosiologis lainnya baik prestasi akademis maupun dalam menapaki tangga tangga puncak dalam karier birokrasi.
Dalam konteks ini maka memaknai Hari Santri Nasional (HSN) yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 22 Tahun 2015 terlalu sempit jika hanya dimaknai sebagai “kemenangan politis” kaum santri dalam relasi negara dengan semangat teriakan “NKRI HARGA MATI” yang membuncah di ruang ruang publik.
Hari Santri Nasional (HSN) dalam konteks legitimasi negara harus dimaknai dalam spektrum kebangsaan yang lebih luas, sebuah kesadaran kebangsaan dalam konteks meletakkan kesetaraan kebijakan negara terhadap eksistensi pendidikan santri, yakni pendidikan dibawah kementerian agama sebagai jalan sistemik harus selalu diperjuangkan.
Prof. Nazarudin Umar dalam posisinya sebagai menteri agama adalah tokoh yang memiliki kapasitas dan kompetensi yang tepat untuk melakukan terobosan dan injeksi injeksi inovatif dalam memajukan pendidikan agama di Indonesia dalam spirit kesetaraan dengan pendidikan umum tersebut.
Dalam konstruksi itulah kita memberikan tekanan relevansi makna peringatan Hari Santri Nasional (HSN) tahun 2025 ini agar Hari Santri Nasional tidak hanya perayaan seremonial tahunan, tidak hanya sebuah penegasan identitas dengan atribut sarung dan peci bersifat artifisial dan “kulit luar”.
Prof. Nazarudin Umar selain sangat fasih berbicara tentang akar historis pesantren dan madrasah, juga memiliki perspektif historis sangat mendalam tentang pentingnya memperjuangkan kesetaraan pendidikan agama akibat dampak sistemik penjajahan Belanda – terlalu mengakar dalam mindset kebijakan negara.
“Kolonialisme Belanda datang ke Indonesia bukan hanya kehidupan politik yang dimonopoli tetapi pendidikan agama dan pesantren dipinggirkan, hanya sebagai pendidikan alternatif, bukan pendidikan arus utama bangsa Indonesia yang sejajar dan setara dengan satuan pendidikan lainnya”, ujarnya (“Rmol”,14/11/2024).
Akibat mindset dan kerangka berfikir warisan kolonialisme penjajah ini seperti juga ditulis A. Karel Steenbrink dalam bukunya berjudul “Pesantren, Madrasah, Sekolah”, hingga saat ini masih sangat dalam dirasakan kebijakan diskriminatif politik anggaran negara antara pendidikan agama dan pendidikan umum.
Pendidikan dibawah kementerian agama (dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi) termasuk pesantren bahkan hingga saat ini seolah olah institusi pendidikan untuk warga bangsa “kelas dua” dibanding alokasi anggaran yang berlipat lipat diperuntukkan untuk pendidikan yang disebut “umum”, dibawah kemendikdasmen dan kemendikti.
Dalam perspektif itulah kehadiran Prof Nazarudin Umar memimpin kementerian agama ini dalam momentum peringatan Hari Santri Nasional (HSN) tahun 2025, kita letakkan spiritnya :
Pertama, spirit penguatan “bersih bersih” dari praktek “perselingkuhan politis” yang menjadi sebab kementerian “Ikhlas Beramal” ini dalam beberapa tahun terakhir selalu dalam pusaran kasus korupsi, deal deal transaksional dan politisasi jabatan yang merusak prinsip meritokrasi dalam sistem birokrasi
Kedua, spirit perjuangan kesetaraan pendidikan agama di Indonesia dalam segala dimensinya. Inilah bagian penting jalan peradaban masa depan bangsa Indonesia di antara tarikan ideologis masa lalu antara keislaman dan kebangsaan, ditarik ke dalam spektrum satu tarikan keindonesiaan yang maju, adil dan beradab
Itulah cara berdampak memaknai spirit Hari Santri Nasional (HSN) 2025. Selamat !
Wassalam.