banner 728x250

ANALISIS PEMBANDING TENTANG SMA/SMK NEGERI DAN SWASTA DI JAWA BARAT

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan.

Keberadaan sekolah SMA/SMK “swasta” yang dirintis, dibangun dan dijaga keberlangsungannya penuh keringat dan air mata oleh prakarsa partisipasi publik tidak boleh diletakkan sebagai “objek” sekedar ditindih tindih dengan kebijakan “negara” (dan pemerintahan daerah “turunannya”).

Negara (sekali lagi dalam hal ini pemerintah daerah) harus meletakkan sekolah “swasta” dalam urgensi kehidupan berbangsa dan bernegara bahwa salah satu tujuan bernegara dalam pembukaan UUD 1945 adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Di Jawa Barat terdapat 517 SMA “negeri” (30,18 %) dan jumlah SMA “swasta” 1.178 (68, 79 %). Sekolah kejuruan SMK “negeri” 288 (9,83%) dan SMK “swasta” 2640 (90,12%).

148 kecamatan (20, 41%) dari jumlah 672 kecamatan di Jawa Barat belum ada SMA/SMK “negeri” dan 16 kecamatan di antaranya sama sekali tidak ada SMA/ SMK baik negeri maupun swasta.

Data di atas bersumber dari data BPS 2023 dan sumber sumber lain yang valid – di luar “Madrasah Aliyah” (MA), sekolah sederajat SMA/SMK yang dikelola secara vertikal oleh kementerian agama.

Jumlah SMA/SMK swasta di Jawa Barat di atas tidak sederhana diperlakukan hanya misalnya dengan statement “serahkan ijazah ke siswa atau bantuan 600 M dihentikan”, sebagaimana statement Dedi Mulyadi Gubernur terpilih, dikutip “bandungkompas com”, 2/2/2025).

Dinas pendidikan Jawa Barat terlalu “lebay” secara “sepihak” menindaklanjuti kebijakan “populis” tersebut dengan mengirim “surat edaran” semi memaksa SMA/SMA/SLB menyerahkan ijazah kepada peserta didik yang telah lulus” dengan deadline waktu tertentu (detikedu”, 31/1/2025)

Sementara pihak lain, dalam hal ini “kegelisahan” sekolah swasta seperti disuarakan Andriana , kepala SMK “Jami’atul Aulad”, Sukabumi – tampaknya mewakili representasi “kegelisahan” SMA/SMK swasta yang lain di Jawa Barat abai didengarkan “negara” (Pemerintah Provinsi Jawa Barat).

“Kita tidak dapat membayangkan – jika tanpa solusi dari kebijakan ini, orang tua siswa tidak ikut membantu pembiayaan sekolah bukan mustahil sekolah swasta akan mati”, demikian suara lirih kegelisahan Andriana sebagaimana dikutip (tirubunjabar, 30/1/2025.

Penulis meletakkan perspektif analisis pembanding sekolah negeri dan swasta di Jawa Barat di atas tidak sekedar dalam konteks soal “ijazah” dalam konstruksi “teknis” anggaran dan lain lain. Penulis meyakini soal soal tersebut dapat diselesaikan secara “musyawarah”, arif dan bijaksana.

Analisis pembanding jumlah sekolah negeri dan swasta di atas jauh memberikan sebuah perspektif kesadaran kolektif kita betapa besar kontribusi partisipasi publik (swasta) terhadap penyelenggaraan pendidikan, tak dapat diabaikan di Jawa Barat dalam turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

Artinya, terlalu mahal apa yang dibayangkan Andriana, kepala SMK swasta di atas tentang potensi “sekolah swasta akan mati” akibat implikasi dari kebijakan tidak “proper” dan tidak “akuntabel” tanpa solusi saling “melindungi” antara kepentingan ijazah siswa dan keberlangsungan “hidup” sekolah swasta.

Prof Moh. Nuh, Mendiknas, era Presiden SBY dalam “Sarasehan Asta Cita” visi Presiden Prabowo kemarin (detik, 4/2/2025) menjelaskan bahwa lembaga pendidikan adalah “institusi teruji dan terpuji” dalam memotong mata rantai garis kemiskinan kehidupan bangsa berbasis penelitian sosial mutakhir.

Dalam perspektif itu jumlah SMA/SMK “swasta” di Jawa Barat di atas 70% sebagai support system’ dalam tujuan bernegara, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa” tak dapat diabaikan dalam kerangka memotong mata rantai kemiskinan.

Itulah cara menjawab posisi SDM Jawa Barat dalam data BPS (2024) masih di peringkat 10 di bawah jauh Provinsi Daerah Khusus Jakarta di posisi pertama, bahkan Jawa Barat masih di bawah Riau dan Sumatera Barat, dua Provinsi luar pulau Jawa (Merdeka com, 4/12/2024).

Itulah cara mengangkat garis kemiskinan di Jawa Barat menurut survey sosial ekonomi nasional (SUSENAS, 2024), provinsi dengan kemiskinan “terbanyak” ke 2 di Indonesia (kompas,1 januari 2025), rangking ke 24 dari 34 provinsi di Indonesia (BPS, 2024).

Dalam konstruksi itulah keberadaan sekolah SMA/SMK “swasta” di Jawa Barat yang begitu besar jumlahnya penting diletakkan dalam konstruksi menjawab problem sosial dan ekonomi di Jawa Barat dengan proporsi politik anggaran yang berkeadilan.

Wassalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *