banner 728x250

KONFLIK INTERNAL PBNU MAKIN GAWAT, MUKTAMAR DIPERCEPAT SOLUSI BERMARTABAT

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

Eskalasi konflik internal PBNU sudah “gawat” mencapai “titik didihnya”, sulit diselesaikan secara parsial kecuali dengan opsi “Muktamar NU dipercepat”.

Inilah solusi konstitusional forum tertinggi permusyawaratan NU dapat dirancang tiga bulan ke depan atau dilaksanakan beberapa hari pasca Hari Raya Idul Fitri 1447 H, sekitar Maret 2026.

Istilah “Muktamar NU dipercepat” memang tidak dikenal dalam AD/ART Jam’iyyah Nahdatul Ulama (NU) kecuali “Muktamar Luar Biasa (MLB) dengan syarat syarat tertentu dapat dilaksanakan untuk mengganti pucuk pimpinan PBNU “di tengah jalan”.

Yang dimaksud “Muktamar NU dipercepat” di sini adalah agenda “Muktamar NU ke 35” yang sedianya dilaksanakan akhir tahun 2026 dimajukan karena “kekhususan situasional”, karena eskalasi konflik internal PBNU.

Artinya, agenda Muktamar NU “reguler” ditarik maju beberapa bulan lebih cepat dari periode normal kepengurusan PBNU saat ini, masih dalam ambang batas toleransi wajar sebagai solusi dari eskalasi konflik internal elite PBNU saat ini

Di luar Opsi “Muktamar NU dipercepat” sebagai solusi penyelesaian konflik para elite PBNU saat ini dalam timbangan penulis akan problematik secara konstitusional organisatoris dan lebih banyak “mudlorotnya” sebagai “jam’iyah”, sebagai organisasi.

Para elite PBNU sebenarnya sudah sangat teruji dan terampil mengorkestrasi hal hal seperti ini, sudah terbiasa dalam skema berfikir dalam kaidah fiqih pesantren “Ma la yudroka kulluh, la yutroka kulluh”, sesuatu yang tidak dapat dicapai seluruhnya, maka jangan tinggalkan seluruhnya.

Dengan kata lain, “Muktamar NU dipercepat” tentu tidak seluruhnya bisa menyenangkan kedua belah pihak dalam klaim posisi kebenaran dan “legal standing” masing masing tapi inilah jalan maslahat paling maksimal bisa ditempuh dalam kompromi kedua belah pihak.

Pilihan mendesak mundur atau memberhentikan Gus Yahya, seorang “mandataris” yang dipilih langsung oleh forum “Muktamirin” sebagai Ketua Umum PBNU sangat problematik dan tidak mudah. Gus Yahya pun telah menolak desakan mundur dan pemberhentiannya oleh rapat harian syuriyah PBNU.

Ini Implikasinya akan panjang, terjadi “tarik tambang” alias adu kuat mobilisasi opini di ruang publik dan adu sprint konsolidasi “kiai kiai” struktural maupun kultural untuk menguatkan “legal standing” posisi masing masing secara faksional.

Sebaliknya, membiarkan konflik para elite “kunci” PBNU ini terlalu lama saling mengunci satu sama lain, saling mengunci “tandatangan” surat surat penting akan menyulitkan bagi PBNU dalam konsolidasi internal organisasi.

Dalam relasi dengan pihak “luar” juga akan menyulitkan PBNU dalam menjalankan “khidmah” dan layanan NU kepada umat, bahkan potensial melemahkan posisi kultural NU sebagai “subkultur” penyangga elemen kebangsaan.

Pendekatan politik “menang menangan” dan faksionalisasi antar pihak yang berkonflik di PBNU dengan mindset kuasa politik masing masing dan dengan argument pasal pasal AD/ART dalam tafsir masing masing, hanya potensial melahirkan “dualisme kepengurusan” di PBNU.

Sedihnya, jika kemudian eskalasi konflik ini berpindah ke meja pengadilan. Drama panjang akan melelahkan dan tidak elok dipandang umat. Sakitnya tuh di sini, ormas Islam terbesar tempat jutaan umat berteduh menjadi kurang nyaman.

Dalam perspektif itu, maka pilihan Muktamar NU yang dipercepat dalam pengertian di atas adalah solusi “terhormat” bagi semua yang terlibat konflik internal di PBNU, tidak saling mempermalukan antar tokoh NU di ruang publik.

Pilihan Muktamar dipercepat sekaligus “bermartabat” bagi NU sebagai “jam’iyah” dengan jumlah pengikut ratusan juta umat – jumlah yang tidak main main harus ditimbang suasana kebatinan mereka.

Inilah jalan konstitusional organisatoris untuk mengakhiri eskalasi konflik elite PBNU saat ini secara konstitusional, terhormat dan bermartabat. NU milik umat, harus dikelola secara terhormat, tidak dengan cara “politiking” yang “nir maslahat”.

Diiharapkan Muktamar Ini kelak dapat pula menghasilkan kepengurusan PBNU baru yang lebih “fresh”, untuk mengokohkan NU kembali sebagai ormas keagamaan yang memandu gerakan masyarakat sipil dalam optimalisasi khidmahnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pertanyaan endingnya, apakah opsi “Muktamar NU yang dipercepat” menjadi pilihan para elite PBNU yang tengah berkonflik saat ini ? Jawabannya “Wallahu a’lam bil showab” – coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.

Wassalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *