Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
Mempertegas dukungan untuk Presiden Prabowo Subianto bukan sekedar pilihan politik tapi pilihan moral pasca eskalasi unjuk rasa berujung anarkhis akhir Agustus 2025 masih menyisakan polemik di berbagai kanal podcast dan beragam platform media sosial.
Tidak hanya soal eskalasi unjuk rasa yang berujung anarkhis, pembakaran gedung gedung pemerintah dan penjarahan sejumlah rumah para pejabat tapi adanya gelagat tindakan “makar”, penumpang aksi unjuk rasa mahasiswa sebagaimana disinyalir Presiden Prabowo.
Pemberitaan majalah “Tempo” melalui kanal YouTube “Bocor Alus” berjudul “Peran Tentara Dan Pola Pelaku Kerusuhan Demonstrasi di Jakarta”, mengindikasikan tentara bermain di balik kerusuhan tersebut hingga merebak isu TNI mendorong pemberlakukan status “darurat militer”.
Prof Din Syamsudin, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam ceramahnya di depan ribuan jamaah yang diupload di media “Tiktok” menyakini adanya operasi pihak tertentu hendak menjatuhkan Presiden Prabowo di back up oleh para oligarkhi – yang merasa dirugikan oleh beberapa kebijakannya.
Dalam beragam rumor dan spekulasi itulah penegasan rakyat Indonesia untuk mendukung kepemimpinan Presiden Prabowo begitu penting, sekali lagi, bukan sekedar pilihan politik tapi pilihan moral.
Pertama, untuk mencegah potensi konspirasi global yang hendak menggerus kedaulatan negara di tengah persaingan geopolitik dunia dan perang tarif dagang antar negara. Lemahnya kohesi sosial bangsa atau bahkan terpecahya elemen kebangsaan mempermudah masuknya infiltrasi asing.
Kedua, sebuah bangsa di tengah eskalasi krisis sosia ibarat kapal besar yang dihantam gelombang samudera besar. Mengganti nakhoda di tengah goncangan ombak besar bisa merubah arah dan kapal akan kehilangan haluan. Di sinilah pentingnya mempertegas soliditas dukungan kepada Presiden Prabowo.
Ini artinya menjaga keberlangsungan kepemimpinan Presiden Prabowo di tengah eskalasi unjuk rasa bukan sekedar pilihan pragmatisme politik melainkan sebuah syarat moral agar bangsa tidak semakin retak, apalagi karam dalam samudera sejarah.
Dengan kata lain, mempertegas dukungan sepenuhnya terhadap kepemimpinan Presiden Prabowo berarti memberi bangsa sebuah jalan untuk segera sembuh, negara utuh dan stabil, terhindar dari luka luka kolektif yang diwariskan pada generasi generasi berikutnya.
Namun bersamaan dengan pilihan moral di atas tentu penting disadari bahwa gejolak dan krisis sosial di tengah tensi amarah publik yang tinggi tidak bisa hanya dipadamkan oleh parade pidato dan angka angka statistik di atas kertas.
Krisis sosial dan lemahnya daya beli rakyat saat ini ibarat rumput rumput kering mudah terbakar dan dibakar oleh puntung rokok, mudah disulut agitasi dan provokasi. Api di jalanan akan redup jika dapur dapur rakyat kembali normal mengepul.
Di sinilah pentingnya realokasi postur APBN dari program padat modal dialihkan dalam bentuk program padat karya dan proyek infrastruktur yang menyerap peluang pekerjaan masyarakat bawah terutama yang terdampak PHK agar kehadiran negara benar benar dirasakan rakyat di bawah.
Disamping itu, tata kelola pemerintahan yang baik, komunikasi para pejabat secara terukur, empati, tidak “flexing” di media sosial dan keberanian memangkas beragam tunjangan. para pejabat dari pusat hingga daerah (Kepala Daerah dan DPRD) adalah pilihan tak terhindarkan untuk memulihkan kepercayaan rakyat terhadap para pejabat.
Selama ini disadari atau tidak partai politik terlalu banyak “dimanja” oleh sumber keuangan negara dari pajak rakyat. Kader kader partai politik yang duduk di lembaga eksekutif dan legislatif terlalu enteng bermain “akal akalan” fasilitas, tunjangan dan aksesoris kemewahan protokoler lainnya.
Di sisi lain orang orang “miskin kota” dan rakyat di kampung kampung terlalu tajam dicekik lehernya oleh macam macam pajak, harga beras dan minyak goreng naik, biaya anak sekolah bikin pusing kepala dan iuran BPJS – terbentur dompet kosong.
Dalam ketimpangan ekstrim itulah daya ledak amarah rakyat menemukan momentumnya. Gedung DPR RI sebagai simbol kuasa partai politik menjadi sasaran amuk massa untuk dibubarkan – minimal “dipreteli” kemewahan tunjangan tunjangannya.
Negara bukan sekedar mesin birokrasi, melainkan rumah besar kebangsaan dengan daya tumpu kekuatannya adalah fondasi keteladanan, keadilan dan empati. Inilah vaksin pesyikhologis dalam merawat kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rakyat ingin lebih merasakan kehadiran para pejabat negara di ruang ruang publik sebagai pemimpin, rujukan teladan bagi mereka. Keteladanan pemimpin adalah akar kekuatan kultural bangsa
Keteladanan pemimpin adalah kunci kata Imam Al Ghazali. Dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin”, Imam Al Ghazali mengikonstruksi teori sosial bahwa rakyat bisa rusak (menjarah, amuk massa) karena dipicu oleh rusaknya moralitas pemimpin, yakni korupsi, manipulasi dan bermewah mewah diri.
Thomas Hobbes Ahli filsafat politik (Inggris) dan Ibnu Khaldun, sosiolog politik muslim (Tunisia) mengingatkan bahwa bernegara tanpa keadilan dan keteladanan pemimpin adalah perampokan yang dilegalkan, sebuah “bahaya laten” selalu akan mendapatkan perlawanan rakyat.
Di atas segalanya, unjuk rasa yang berujung anarkhis adalah pelajaran berharga meskipun keras tapi jujur mengingikatkan kita bahwa bernegara adalah tentang komitmen bersama untuk memajukan bangsa di atas prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ke sanalah kapal besar Indonesia ini kita arahkan bersama sebagai bagian dari ikhtiar menuju Indonesia Emas tahun 2045, satu abad Indonesia Merdeka. (*)
Wassalam.