banner 728x250

UNJUK RASA PEMBUBARAN DPR, SEBUAH CARA MERAWAT WAKIL RAKYAT TIDAK KUFUR ELEKTORAL

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

Michael Sandel, Profesor ilmu politik dari Harvard University dalam bukunya “Politik Dan Demokrasi Pasar”, terjemahan dari judul buku aslinya berjudul “What Money Can’t Buy?”, ia bertanya begini :

Apakah masih ada yang tidak bisa dibeli dengan uang atau apakah benar benar tidak ada lagi hal yang tidak bisa dibeli dengan uang?

Ia menjawab, ada, yakni keadilan dan demokrasi. Keduanya akan kehilangan “ruh” dan peradaban politik akan runtuh jika hanya dimaknai sebagai “transaksi” dalam bentuk “cash and carry”. Dalam bahasa kekinian bisa disebut “Bukalapak” elektoral.

Statement Mechael Sandel di atas hendak menggarisbawahi tentang kesalahan fatal Ahmad Sahroni, wakil ketua komisi III DPR RI menuding rakyat yang meminta pembubaran DPR sebagai “mental orang tolol sedunia” (“kompas com”, 25/8/2025).

Ia terlampau merendahkan rakyat karena boleh jadi dulu saat kontestasi pemilu sebagaimana umumnya calon legislatif “membeli” suara akibat sistem pemilu “suara terbanyak” sehingga merasa memiliki sepenuhnya “kursi” yang ia duduki sebagai wakil rakyat.

Dalam demokrasi betapa pun seorang wakil rakyat terpilih karena membeli suara, ia hanya membeli “teknis coblosan suara” di TPS bukan membeli nasib dan airmata yang dititipkannya saat memilih. Itulah nurani demokrasi kata Mechal Sandel .

Protes publik dalam sistem demokrasi sebagaimana unjuk rasa publik untuk pembubaran DPR (25/8/2025) harus dipahami lebih sebagai cara rakyat mengingatkan para wakil yang dipilihnya tidak “kufur elektoral”, tidak abai atas “suara Tuhan” yang dititipkan di pundaknya.

Tantangan demokrasi kita dibawah payung nilai nilai luhur Pancasila memang miris. Partai politik menjelma menjadi lapak, intelektual tidak memandu nilai melainkan menjadi makelar, rakyat miskin dipelihara dalam kemiskinan agar secara sadar mudah dibeli suaranya secara “cash and carry”.

Demokrasi ambruk kehilangan sukma dan maknanya. Ia tidak lagi menjadi nilai luhur untuk menentukan arah bangsa melainkan pasar tempat suara di lelang. Martabat manusia adalah barang kelontongan yang bisa dibeli kapan saja lalu dicampakkan.

Dua orang pengamat secara bersamaan menulis terkait unjuk rasa publik yang meminta pembubaran DPR, yakni Desi Agustina dengan judul “Arogansi DPR” dan Firdaus Arifin dengan judul “Istana mewah wakil rakyat” – keduanya dimuat di “kompas”, 25/8/2025.

Mereka berdua begitu “telanjang” menguliti sisi sisi kemewahan DPR RI yang dikontraskan dengan nestapa kehidupan rakyat dan menuding wakil rakyat eebagai “kleptopratik”, yakni melegalkan kemewahan dirinya dengan peraturan yang dibuatnya sendiri.

Maka inilah saatnya bagi DPR sebagai lembaga demokrasi untuk berbenah diri, meletakkan aspirasi publik yang lantang meminta pembubaran DPR sebagai sebuah pesan untuk tidak “kufur elektoral”, tidak abai atas denyut nadi nestapa rakyat.

Menjadi wakil rakyat memang berat tapi mulia untuk selalu dijaga kemuliaannya sejak dari pikiran, perkataan hingga perbuatan, sebuah piramida keteladanan prilaku sosial dalam spektrum sosiologi masyarakat Indonesia yang paternalistik.

Itulah cara otokritik diri memperbaiki DPR di mana dalam survey “Indikator Politik (Mei 2025) DPR adalah lembaga di posisi paling rendah dari sisi indeks kepercayaan publik dibanding hampir semua lembaga negara lainnya (Presiden, TNI, Polri, Mahkamah Agung, dll).

Wakil rakyat di level manapun dalam kajian antropologi politik sejarawan Ong Hok Ham bukan sekedar, sekali lagi, bukan sekedar memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya untuk membangun jalan, sekolah, irigasi dll – di mana penjajah Belanda pun di eranya juga telah melakukannya.

Lebih dari itu, menurutnya, selain memperjuangkan aspirasi pembangunan fisik, tak kalah pentingnya adalah menjadi rujukan teladan bagi kehidupan rakyat pemilihnya. Keteladanan itulah nilai puncak dari spritualitas demokrasi. Itulah nilai penuntun dalam demokrasi nilai luhur Pancasila.

“Negara tanpa perjuangan keadilan dan pemimpinnya miskin keteladanan perilaku hidup sosial – hanyalah perampokan kolektif yang dilegalkan”, kata Ibnu Khaldun, seorang sosiolog politik muslim.

Wassalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *