banner 728x250

PESAN MORAL DARI PESANTREN PLOSO DAN BUNTET DI TENGAH KONFLIK ELITE PBNU DI DEPAN BERANDA UMAT

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

Dari pesantren Ploso, Kediri 29 November 2025 para sesepuh kiai NU kharismatik mengirim seruan “Islah”, sebuah pesan moral sarat makna dan “meaningfull’ untuk menginjeksi defisit moralitas para elite PBNU yang tengah asyik berkonflik di depan beranda umat.

Dari pesantren Buntet Cirebon, kiblat kultural NU di Jawa Barat, saat Haul KH. Fuad Hasyim ke 21, pada 29/11/2025 suara moral makin nyaring. Gus Fariz, salah satu putera KH. Fuad Hasyim mulai “jengah” dengan “tontonan” eskalasi konflik PBNU di ruang publik, mempertaruhkan marwah NU sebagai ormas Islam.

Pesantren Ploso Kediri dan Buntet Cirebon adalah dua pesantren “historis” dan “iconic” mewakili representasi kultural NU. Dari jaringan pesantren dalam study Dr. Zamakhsyari Dhofir terbentuk ekosistem sosial kultural NU lalu dikonstruksi dalam formalisme struktural sebagai “jam’iyah” yang disebut ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU).

Kekuatan kultural NU mendahului kekuatan strukturalnya. Eksistensi struktural jam’iyah NU sepenuhnya ditopang daya tahan hidupnya oleh ekosistem sosial pesantren. NU struktural’ “disubsidi” oleh kekayaan dan asset jaringan kultural NU, bukan dibesarkan dalam “ayunan” Oligarkhi kekuasaan politik.

Karena itu, pesan moral para sesepuh di Ploso dan suara keras dari Buntet di atas harus dimaknai bahwa eskalasi konflik elite PBNU tidak bisa lagi sekedar dibaca lumrah, seolah olah biasa dalam tradisi NU, dari “gegeran” lalu “ger geran”. Ini cara menghibur diri secara manipulatif, tidak menjadi “uswah” di depan umat.

Standart konflik internal elite PBNU saat ini sudah sangat dalam, di “stadium 4”, saling buka “aib”, saling menjatuhkan kredibilitas sesama elite PBNU di ruang publik, nyata nyata bukan sekedar tidak ada maslahat sedikit pun bagi umat kecuali modlorot yang menindih suasana kebatinan umat.

Ini jelas mempertaruhkan marwah dan martabat NU sebagai ormas Islam di mana power dan kekuatan mandat PBNU adalah mandataris penuntun moral keteladanan umat, warga Nahdlyyin.

Kepemimpinan elite PBNU yang cenderung “Attakatsur”, ambisius dalam kendali mutlak organisasi telah menggiring NU nyaris jatuh ke “Almaqobir”, jurang nista, sekurang kurangnya bangunan moral nyaris ambruk dan ambyar.

Terus terang konflik internal PBNU saat ini hulunya sudah dimulai sejak dari masa “kandungan” Muktamar NU ke 34 di Lampung tahun 2021. Terpilihnya KH. Miftahul Akhyar sebagai Rois Am dan Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU menyisakan problem moral bagi NU sebagai “jam’iyah”, ormas Islam.

Keterpilihan KH. Miftahul Akhyar dan Gus Yahya dalam posisi puncak elite PBNU dibaca publik, setidaknya dalam analisis penulis, karena “operasi politik” kekuasaan ugal ugalan berkelindan dengan kepentingan politik Presiden Jokowi waktu itu untuk proyeksi pilpres 2024. NU menjadi support system elektoral.

Mandat moral pemilik suara di Muktamar ditundukkan oleh mesin “Beko” kekuasaan. Kuat formalitas struktural tapi defisit legitimasi moral.

Pernyataan Prof. Nadirsyah Husen di media sosial betapa pencalonan KH. Said Aqil Sirodj hendak digunting dengan beragam cara adalah variabel indikatif bahwa Muktamar NU di Lampung 2021 defisit moralitas kultural ke NU an.

Rejim PBNU di era duet Rois Am KH. Miftahul Akhyar dan Ketua Umum Gus Yahya dengan support system operasional Sekjend PBNU benar benar tampil dominan dengan gestur “partai politik”,, seolah olah kontestan peserta pemilu.

Itulah, yang berkali kali dikritik keras oleh Gus Salam, cucu salah satu pendiri NU, KH. Bisri Syansuri atas kecenderungan PBNU “bermain” politik praktis terlalu vulgar dan eksplosif

Bahkan dalam perspektif KH Imam Jazuli, Pengasuh pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, rejim PBNU di era Rois Am, KH. Miftahul Ahyar dan Ketua Umum Gus Yahya, menurut beliau, bukan hanya pragmatis secara politik tapi oportunistik dalam relasi Oligarkhi kekuatan politik dan epocentrum ekonomi.

Itulah menurut KH Imam Jazuli, elite PBNU hari ini “sedang meruntuhkan moral yang kokoh yang dicontohkan para muassis”, tulisnya dalam tulisannya berjudul ‘Zionisme Nahdliyah dan Urgensi Rois Am Mundur” (“Disway id”, 8/9/2025).

Penulis sengaja “speak up” ulang tentang terpilihnya kedua elite PBNU di atas dengan rejim kepengurusan PBNU yang dibentuknya bahwa menghayati NU sebagai kerja “subkon” politik akan tersandra oleh oligarkhi kekuasaan politik, potensial membentuk faksi faksi konfliktual di internal PBNU dan rapuh independensinya sebagai ormas yang ditopang akar kuat kultural umat.

Di tengah konflik internal PBNU yang terang terangan saat ini di depan beranda umat, sulit rasanya PBNU mampu menyangga moral umat, tidak ada jalan lain kecuali “operasi cesar” Muktamar NU dipercepat dengan penegasan kesadaran atas dua hal :

Pertama, NU adalah ormas Islam secara “gestur” berbeda dengan ormas Islam lain, umumnya dibentuk dulu secara struktural lalu mengembangkan amal usaha secara terstruktur. NU justru kebalikannya. Ekosistem sosial NU terbentuk melalui tradisi jaringan pesantren kemudian distrukturkan dalam formalisme organisasi untuk kepentingan taktis dalam relasi dengan pihak lain.

Kekuatan kultural NU mendahului dan lebih besar dari kekuatan strukturalnya. Kesadaran ini penting dihidupkan bahwa NU bertumbuh dan besar, bahkan saat ditekan oleh rejim Orde Baru, karena daya tahan umat sebagai penyangganya, bukan karena “dikatrol” penguasa meskipun tidak harus menolak kerjasama tanpa mengorbankan prinsip NU sebagai “jam’iyah”.

Kedua, NU harus menegaskan komitmennya kembali ke “khittah 1926” sebagai ormas Islam, tidak sekedar tidak berpolitik praktis dan berjarak yang sama dengan semua kekuatan politik, lebih dari itu, teguh berdiri kokoh dalam prinsip “tawashut” secara politik, berdiri di titik tengah di antara kepentingan rakyat dalam relasi kepentingan negara.

Gus Dur adalah ketua umum PBNU nyaris sempurna mempraktekkan prinsip “tawashut” dalam konteks ini. Gus Dur kritik keras pa Harto ketika negara yang dipimpinnya terlalu kuat, cenderung mengendalikan paksa rakyat dan negara bertindak ugal ugalan kepada rakyat.

Sebaliknya ketika Pa Harto begitu lemah oleh tekanan publik (1998) Gus Dur datang “sowan” ke pa Harto untuk keseimbangan politik. Pasalnya jika negara terlalu lemah berpotensi besar terjadinya anarkhisme arus bawah yang merusak dalam eskalasi yang massif.

Prinsip “tawashut” inilah yang nyaris “mati suri” di era rejim PBNU saat ini. Ironisnya, “trio” epocentrum PBNU : Rois Am, ketua umum dan sekjend PBNU yang dulu kolaborasi – kini justru menjadi segi tiga epocentrum konflik internal PBNU. Beliau bertiga inilah yang diminta Gus Fariz untuk “didelete” dari struktur PBNU.

Semoga konflik elite PBNU tidak makin mendidih dan umat tidak makin tertindih.

Wassalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *