Oleh : H. Adlan Daie.
Analis politik dan sosial keagamaan
Ke mana pemerintah pemilik otoritas pengesahan surat keputusan (SK) tentang kepengurusan sebuah ormas akan berpihak dalam konteks konflik elite PBNU?
Ikhtiar “islah” atau berdamai nyaris sepenuhnya tertutup. AD/ART NU rujukan tunggal pengikat perilaku kolektif pengurus Jam’iyyah NU sudah “kelelahan”, tak sanggup lagi mempersatukan hasrat dan ambisi kuasa para elite PBNU yang berkonflik.
Keilmuan “Ushul fiqih”, tradisi kuat pesantren yang menjadi kelebihan dua faksi yang berkonflik hanya alat justifikasi mencari celah untuk “memperluas” atau “mempersempit” makna ketentuan AD/ART seturut kepentingan posisi masing masing.
Kini masing masing faksi telah melakukan tindakan saling “pecat memecat’ sehingga demi kepentingan legalitas administrattf membutuhkan uluran tangan pemerintah untuk SK pengesahannya.
Analisa spekulatif di permukaan dengan sejumlah variabel indikatif tampaknya faksi Rois Am “pede” untuk mendapatkan SK pengesahan dari pemerintah, cq. Kemenkumham RI.
Persepsi sejumlah pihak membaca adanya “sinyal” dalam relasi kuasa atas keberanian Rois Am “memecat” ketua umum PBNU hanya lewat forum rapat pleno dan abai atas saran dan suara suara pesantren (Ploso, Tebuireng, dll) untuk “islah”.
Hadirnya Habib Lutfi dan Menteri Agama dalam rapat pleno penetapan KH Zulfa Mustofa sebagai Pj. Ketua umum PBNU bukan undangan biasa tapi mengirim pesan simbolik adanya relasi kuasa keberpihakan kepada faksi Rois Am.
Di sisi lain, Gus Salam, pengasuh pesantren Denanyar Jombang, Jawa Timur, mengingatkan para elite PBNU tidak menyeret nyeret keterlibatan pemerintah atau pemerintah tidak “cawe cawe” terkait konflik internal elite PBNU, dikutip media “RMOL.ID”, edisi 11/12/2025.
Gus Salam meminta pemerintah tidak ikut campur dalam konflik PBNU dan mengingatkan bahwa legitimasi kepengurusan NU bukan berasal dari pemerintah, cq. Kemenkumham melainkan pengakuan dari ulama pesantren.
Dalam perspektif Gus Salam, “Walaupun Jam’iyyah NU terikat UU Organisasi kemasyarakatan (Ormas) namun status hukum pendirian NU telah ditetapkan sebelum terbentuk NKRI”, tutur Gus Salam di media “Rmol” tersebut.
Artinya, “Pengakuan utama atas adanya kepengurusan PBNU adalah pengakuan ulama-kiai pesantren yang diwakili struktur NU di tingkat wilayah, cabang hingga ranting”, tutur Gus Salam lebih lanjut.
Dalam analisis penulis dari sudut pandang geneologi berdirinya NU sebagai “Jam’iyyah” (Ormas), pemerintah tidak akan berpihak ke faksi manapun dalam konflik elite PBNU. NU terlalu rumit hanya diringkas dalam perdebatan tentang tafsir AD/ART dengan klaim masing masing.
Pemerintah memahami betul bahwa NU lebih dari sekedar ormas terstruktur legal, terlalu sederhana jika dipersempit hanya urusan PBNU melainkan juga sebuah ekosistem sosial pesantren penyangga basis kultural NU – akan menjadi timbangan pemerintah
Artinya, pemerintah memahami bahwa konflik elite PBNU sangat rumit, tidak sekedar tentang memberi SK legalitas formal struktural melainkan merebut pengakuan moralitas kultural pesantren, sebuah variabel tak terpisahkan dari NU
Presiden Prabowo sendiri sebagai Kepala pemerintahan sejak masih aktif sebagai tentara sangat intens berinteraksi dengan kiai kiai pesantren tentu memahami betul pesantren adalah subkultur penyangga NU.
Sehingga suara suara pesantren terutama pesantren basis kultural utama NU akan menjadi bagian penting dalam timbangan kebijakannya terkait konflik PBNU. Di sinilah rumitnya membaca NU sebagai “jam’iyah” sekaligus “jamaah”.
Paling jauh, hemat penulis, pemerintah mendorong “islah” untuk kesepakatan bersama percepatan Muktamar NU dengan melibatkan tokoh tokoh pesantren demi menghindarkan PBNU tidak berkepanjangan menjadi “tontonan” konflik, kembali tegak menjadi “tuntunan” moralitas keteladanan umat
Jika jalan ini “deadlock” alias “mentok” dan konflik berlangsung terus lalu kekuatan moral apalagi dari para elite PBNU untuk membimbing moralitas umat yang dipimpinnya?
Wassalam.














