Oleh : Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
Menarik membaca Dr. Tobroni, S.Pd, M.Pd, Rektor Universitas Darul Ma’arif (UDM) Kaplongan, Indramayu dalam konteks “Workshop Pendidikan” yang dilaksanakan atas inisiasi H. Dedi Wahidi, anggota komisi X DPR RI, di hotel Swiss Belinn, Indramayu (Sabtu, 4/10/2025), dihadiri Kadisdik Indramayu dan pejabat kemendikdasmen RI.
Menariknya karena Dr. Tobroni sebagai akademisi yang menjadi salah satu nara sumber “Workshop Pendidikan” tersebut
dalam penyajian materinya tidak mengartikulasikan problem pendidikan di Indramayu dengan deskripsi dan “dalil dalil” yang panjang dan merumit rumitkan masalah
Ia mengkonstruksinya dengan cara membenturkan perbandingan “paradoks” antara Indramayu dengan negara “Mauritius”, salah satu negara di Afrika bagian timur, sebuah negara di Afrika dengan image “undevelopment”, terbelakang.
Dalam teori sosial (klasik) Soedjatmoko, Rektor Universitas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Tokyo Jepang (1980) cara pendekatan perbandingan dengan “pembenturan” analisis data dalam konteks pendidikan adalah bagian dari cara meletakkan pendidikan sebagai instrument “social enginering”, sebuah “rekayasa sosial”.
Dengan kata lain, pendidikan sebagai instrument rekayasa sosial adalah di mana lembaga pendidikan tidak dipahami sekedar mesin pencetak skill mekanis tenaga kerja yang dibungkus mati dalam statistik, justru menjadi pilar bagi bertumbuhnya fondasi sosial dalam pelembagaan demokrasi yang matang.
Dalam konteks itulah teknik penyampaian tersebut setidaknya dari sudut pandang penuliis yang ikut hadir secara langsung dalam acara tersebut relevan sebagai “effect kejut” terhadap para peserta yang hadir dalam acara “Workshop Pendidikan” di atas, umumnya para penggerak pendidikan dari rumpun sosial NU.
Ini sebuah cara membangun kesadaran baru sesuai tema Workshop, yaitu sosialisasi wajib belajar 13 tahun, spesifik tentang penanggulangan Anak Tidak Sekolah (ATS), sebuah tema yang “NU banget”, rumpun sosial terbesar populasi di Indramayu, bahkan di Indonesia dalam konteks penguatan fondasi sosial dalam pelembagaan demokrasi yang matang.
Memang agak sedikit tidak “Apple to Apple” alias tidak setara penyajian Dr. Tobroni dalam acara workshop di atas. Perbandingan “Mauritius” sebagai “state”, sebagai negara, dengan Indramayu, sebuah kabupaten, daerah otonom di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Tapi dari sisi luas wilayah, potensi dan jumlah populasi penduduk relatif memiliki kesamaan sehingga sebagai sebuah perbandingan secara demografis relatif “resonable”, masuk akal untuk membaca beban sosial bagi kematangan demokrasi sebagai sistem politik yang dianutnya.
Pertama, perbedaan mencolok dari perbandingan dua “wilayah” tersebut sebagaimana dikonstruksi Dr. Tobroni dalam acara workshop pendidikan di atas adalah pada tingkat rata rata pendidikan populasi penduduknya. Perbedaan inilah yang dipertajam Dr. Tobroni.
Di negara “Mauritius” rata rata pendidikan penduduknya sudah level 15 tahun (D3) sementara Indramayu di level 6,9 tahun, kata kepala dinas pendidikan Indramayu Dr. H. Caridin dalam sambutannya di acara workshop tersebut. Artinya, rata rata penduduk Indramayu masih di level kelas 1 SMP/Mts.
Kedua, konstruksi perbandingan di atas jelas bukan sekedar perbedaan angka statistik pendidikan tapi dalam konstruksi sosial yang satu (Mauritus) membentuk keseimbangan formasi sosial antar kelas sosial sementara di Indramayu (bahkan di Indonesia) bersifat Piramida sosial.
Konstruksi piramida sosial dalam perspektifJeffery Wonters, seorang analis politik, pasti oligarkhis di mana lapisan atas, yakni lapisan kaya dan terdidik sangat sedikit tapi bisa “mendikte” lapisan sosial menengah ke bawah yang sangat besar, secara demografis di Indramayu, bahkan di Indonesia umumnya rumpun sosial warga NU.
Inilah problem kita, bukan sekedar problem kesenjangan rata rata tingkat pendidikan tapi soal kematangan demokrasi tidak bertumbuh, terlebih masyarakat kita hanya berlimpah informasi tapi meskin literasi. Akibatnya kita sulit mendapatkan pemimpin dalam diksi Rocky Gerung yang memiliki “etikabilitas” dan kapasitas yang memadai.
Dalam formasi masyarakat dengan konstruksi piramida sosial di atas – sudah hampir pasti mayoritas masyarakat kita mudah dilindas oleh manipulasi pencitraan – karena pendidikan tidak menjadi instrument rekayasa sosial untuk membentuk kematangan dalam demokrasi. Hasilnya, politik hanya urusan pemain sinetron, bukan pemimpin.
Jadi, demokrasi bukan sekedar tentang teknis mencoblos dalam pemilu dan pilkada tapi tentang prasyarat bertumbuhnya proses pendidikan dalam keseimbangan sosial sebagai instrument “rekayasa sosial”, sebuah proses transformasi sosial yang berdampak pada pelembagaan basis sosial demokrasi yang matang di Indramayu, bahkan di Indonesia
Kesanalah seharusnya arah pendidikan di Indramayu, bahkan secara umum di Indonesia, digerakkan, bukan sekedar mengejar indeks rata rata pendidikan masyarakat kita tapi pendidikan sebagai instrument rekayasa sosial untuk membentuk kematangan demokrasi.
Demokrasi yang matang bukan sekedar akan menghadirkan seorang pemimpin yang matang dan bervisi pencerahan publik tapi sekaligus mempersempit jurang kelas sosial baik dalam formasi sosial, ekonomi dan pendidikan.
Secara khusus inilah “PR” besar NU sebagai ormas Islam terbesar di Indramayu, sekali lagi, bahkan di Indonesia, untuk menarik gerbong warganya yang begitu panjang dalam mobilitas sosial secara vertikal.
Wassalam