SAMARINDA – Sejalan dengan semangat dari rekan-rekan Hakim Karier melalui Gerakan Cuti Bersama Hakim Se-Indonesia, para Hakim Ad Hoc di Samarinda, khususnya Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai bagian dari Hakim Indonesia tentunya sangat ingin berpartisipasi dan mengambil peran dalam perjuangan dalam mewujudkan komitmen bersama. Terutama untuk memperjuangkan kehormatan dan martabat profesi hakim melalui peningkatan kesejahteraan profesi hakim.
Demikian disampaikan Juru Bicara Hakim Ad Hoc TIPIKOR dan PHI PN Samarinda, Hariyanto, SAg SH dalam press reeles yang disampaikannya, kemarin.
“Kami sampaikan beberapa poin penting terkait eksistensi Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau Hakim Ad Hoc Tipikor di Indonesia, yang turut berperan menjaga supremasi hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia,” ujarnya.
Dijelaskan, kesejahteraan Hakim Ad Hoc, kecuali Hakim Ad Hoc Pengadilan Hak Asasi Manusia, saat ini masih didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2013 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Bagi Hakim Ad Hoc atau Perpres 5/2013. Kondisi yang dihadapi oleh Hakim Ad Hoc tidak jauh berbeda dengan Hakim Karier yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Yang Berada Di Bawah Mahkamah Agung (selanjutnya disebut “PP 94/2012”).
Sebagai gambaran umum kondisi Hakim Adhoc Tipikor, diuraikan sebagai berikut:
KONDISI HAKIM AD HOC
Kondisi Hakim Ad Hoc (kecuali Hakim Ad Hoc HAM) memiliki kondisi yang hampir sama dengan apa yang dialami oleh Hakim Karier, dimana sejak perpres tersebut diudangkan hampir 12 (dua belas) tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 10 Januari 2013 sampai dengan saat ini tidak mengalami perubahan. Selama rentang waktu tersebut tentunya terjadi inflasi ekonomi yang menyebabkan penghasilan yang diperoleh dengan nilai pada saat itu sudah tidak menjadi relevan dan seimbang lagi dalam memenuhi standar hidup di kondisi saat ini. Hal ini sejalan dengan Laporan Penelitian yang diterbitkan oleh Litera bekerja sama dengan Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2023 dengan judul laporan penelitian “Hak Keuangan dan Fasilitas Bagi Hakim Ad Hoc (Edisi Pertama)” yang disusun oleh Muh. Ridha Hakim, S.H., M.H., bahwa kondisi ekonomi selama lebih dari satu dekade ini telah mengalami perubahan signifikan, terutama dengan adanya inflasi yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Dengan mempertimbangkan faktor inflasi, kenaikan harga bahan pokok, serta peningkatan biaya hidup lainnya, besaran tunjangan yang ditetapkan dalam Perpres 5/2013 tersebut saat ini sudah tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup layak bagi para Hakim Ad Hoc, khususnya Hakim Ad Hoc Tipikor yang memiliki tugas, tanggung jawab dan beban perkara yang relatif lebih banyak, rumit dan kompleks serta harus tahan dalam menghadapi pihak tertentu yang mencoba mengintervensi penjatuhan putusan.
INFLASI DAN BIAYA HIDUP
Merujuk dari data Bank Dunia, Indonesia telah mencatatkan angka inflasi pada tahun 2013 sebesar 6.4% (enam koma empat persen), pada tahun 2014 sebesar 6.4% (enam koma empat persen), pada tahun 2015 sebesar 6.4% (enam koma empat persen), pada tahun 2016 sebesar 3.5% (tiga koma lima persen), pada tahun 2017 sebesar 3.8% (tiga koma delapan persen), pada tahun 2018 sebesar 3.2% (tiga koma dua persen), pada tahun 2019 sebesar 3% (tiga persen), pada tahun 2020 sebesar 1.9% (satu koma sembilan persen), pada tahun 2021 sebesar 1.6% (satu koma enam persen), pada tahun 2022 sebesar 4.2% (empat koma dua persen), pada tahun 2023 sebesar 3.7% (tiga koma tujuh persen) (sumber: https://data.worldbank.org/indicator/ FP.CPI.TOTL.ZG?end=2023&locations=ID&start=1960&view=chartdan) dan proyeksi angka inflasi di tahun 2024 sebesar 2.5% +1% (kisaran sasaran yang ditentukan oleh Bank Indonesia, yang saat ini telah dilakukan revisi menjadi menjadi 3.2%). Jika angka-angka inflasi setiap tahun tersebut diakumulasikan, maka angka inflasi sejak tahun 2013 hingga tahun 2024 adalah sekitar 57,73% (lima puluh tujuh persen koma tujuh puluh tiga persen). Ini berarti bahwa harga barang dan jasa pada tahun 2024 lebih tinggi sekitar 57,73% dibandingkan dengan harga pada tahun 2013. Dengan kondisi demikian, maka penghasilan yang diterima oleh Hakim Ad Hoc saat ini dapat dikatakan hanya memiliki nilai ekonomis sekitar kurang dari 50% dibanding tahun 2013 yang lalu.
KETERBATASAN GAJI, TUNJANGAN, BEBAN PAJAK, DAN BEBAN LAINNYA
Hakim Ad Hoc tidak menerima gaji, dalam hal ini hanya menerima Uang Kehormatan. Dimana Uang Kehormatan tersebut tidak diterima utuh oleh Hakim Ad Hoc, tetapi terdapat nilai pajak yang harus dibebankan atau dibayarkan, dan terkadang nilai Uang Kehormatan yang diterima oleh Hakim Ad Hoc yang satu dengan lainnya berbeda, dan bahkan nilai Uang Kehormatan yang diterima oleh Hakim Ad Hoc setiap bulannya adakalanya berbeda pula.
Disamping adanya beban pajak yang harus ditanggung oleh Hakim Ad Hoc, terdapat pula beban lainnya beban biaya internal di setiap satuan kerja masing-masing yang besarannya berbeda-beda tergantung pada nilai yang telah ditetapkan oleh satuan kerja, dan hal ini tentunya sangat mempengaruhi nilai Uang Kehormatan yang diterima oleh masing-masing Hakim Ad Hoc. Penyesuaian hak keuangan dan fasilitas bagi Hakim Ad Hoc tidak hanya penting untuk memenuhi standar hidup yang layak, tetapi juga untuk menunjang kinerja dan produktivitas bagi para Hakim Ad Hoc dalam melaksanakan tugasnya. Dengan tunjangan yang memadai, diharapkan para Hakim Ad Hoc dapat fokus dalam menjalankan tugasnya tanpa perlu merasa khawatir atau cemas akan kesejahteraan mereka dan keluarganya. Selain itu, penyesuaian hak keuangan dan fasilitas ini juga merupakan langkah strategis untuk mencegah terjadinya perilaku koruptif di kalangan Hakim Ad Hoc.
TUNJANGAN LAINNYA
Hakim Ad Hoc tidak memperoleh tunjangan lainnya, seperti tunjangan pajak penghasilan, tunjangan kemahalan, dan tunjangan uang makan. Seorang Hakim Ad Hoc dimanapun ditempatkan diseluruh wilayah NKRI tidak memperoleh tunjangan kemahalan, padahal sebagaimana kita ketahui bersama bahwa setiap daerah atau wilayah Indonesia memiliki nilai inflasi yang berbeda-beda, tentunya akan berimbas pula pada nilai atau harga barang dan jasa (biaya hidup) di daerah tersebut, terkhusus di daerah termasuk wilayah daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T). Dengan demikian beban biaya hidup yang harus dikeluarkan oleh seorang Hakim Ad Hoc tentunya menjadi lebih banyak daripada Hakim Karier dan pengeluaran tersebut akan sangat bergantung pula pada daerah dimana ditempatkan.
KETERBATASAN RUMAH DINAS DAN FASILITAS TRANSPORTASI
Hakim Ad Hoc dalam hal tempat tinggal dan fasilitas transportasi tidak berbeda kondisinya dengan Hakim Karier. Sebagaian besar Hakim Ad Hoc juga tinggal di kos-kos-an dan menggunakan sebagian penghasilannya untuk membeli kendaraan pribadi seadanya untuk melaksanakan tugasnya sehari-hari. Hal ini disebabkan nominal penggantian atas biaya sewa rumah dinas dan transportasi yang diperoleh tidak sesuai dan tidak memadai dengan perkembangan kondisi dan kebutuhan saat ini yang ada di daerah masing-masing, sehingga dengan demikian menjadi tambahan beban tersendiri (pengeluaran) lagi bagi Hakim Ad Hoc.
PERAN HAKIM AD HOC TIPIKOR
Hakim Ad Hoc Tipikor memiliki peran yang tidak sedikit di dalam pengembalian kerugian keuangan negara yang berkeadilan. Hakim Ad Hoc Tipikor dalam melaksanakan tugasnya hampir selalu menyantumkan pengembalian kerugian negara sebagai bagian dari putusannya.
Dengan mempertimbangkan bukti dan fakta dalam persidangan, mereka dapat menjatuhkan putusan yang memaksa Terdakwa didalam mengganti kerugian negara. Hal ini dilakukan melalui denda, uang pengganti, dan pemidanaan yang memberikan tekanan dan/atau perampasan untuk mengembalikan aset-aset hasil dari tindak pidana korupsi. Artinya Hakim Ad Hoc Tipikor berperan pula penentuan besaran pengembalian kerugian keuangan negara dari perkara-perkara korupsi yang ditanganinya.
Kasus-kasus korupsi juga seringkali melibatkan aktor-aktor kuat dari kalangan pejabat tinggi, pengusaha, atau politisi, yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap intervensi atau ancaman, oleh karenanya kesejahteraan yang baik juga dapat menjadi penopang untuk menjaga integritas dan moral Hakim Ad Hoc Tipikor dalam menjalankan tugasnya.
PERSYARATAN HAKIM AD HOC TIPIKOR
Salah satu syarat seseorang untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad Hoc Tipikor adalah seseorang yang memiliki pengalaman minimal 15 tahun di bidang hukum, berupa Hukum Keuangan dan Perbankan, Hukum Administrasi, Hukum Pertanahan, Hukum Pasar Modal dan Hukum Pajak sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Artinya, bahwa Hakim Ad Hoc merupakan orang-orang yang memiliki keahlian dan pengalaman praktik hukum yang mumpuni. Dengan pengalaman praktik tersebut, tentunya memiliki keterampilan dan kompetensi yang dimilikinya lebih baik sebagai modal utama sehingga dapat menunjang profesionalisme bagi seorang Hakim Ad Hoc Tipikor dalam mengadili, memeriksa dan memutus perkara-perkara tipikor yang relatif kompleks, demikian seyogyanya memiliki hubungan yang positif dengan tingkat kesejahteraan atau penghasilan yang layak.
DAMPAK KESEJAHTERAAN PADA KELUARGA HAKIM
Dampak tidak adanya perubahan penyesuaian kesejahteraan Hakim Ad Hoc selama hampir 12 (dua belas) tahun atas Perpres 5/2013 tersebut sama halnya dengan Hakim Karier. Kendala-kendala yang dihadapi disaat melaksanakan tugas dan tanggung jawab keseharian Hakim Ad Hoc sangat terbentur dengan beban biaya-biaya yang harus dikeluarkan, dimana sebagian besar harus menghidupi dirinya sendiri di tempat tugas dan membiayai kebutuhan keluarganya di daerah asal istilahnya membiayai “dua kompor” sehingga berdampak pada jiwa dan psikologis hakim yang bersangkutan beserta dengan keluarganya untuk tetap bisa membiayai kehidupan di dua tempat yang berbeda dengan layak.
UANG PENGHARGAAN HAKIM AD HOC
Hakim Ad Hoc diberikan uang penghargaan pada akhir masa jabatan dan uang penghargaan diberikan sebesar 2 (dua) kali besaran tunjangan, demikian dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) dan penghitungan tersebut lebih lanjut diatur dalam Pasal 4 ayat (4) Perpres 5/2013.
Jika diperbandingkan kekuatan antara keuangan negara dengan pengusaha dalam pemenuhan hak karyawan/pegawainya, dalam pandangan ekonomi, maka negara/pemerintah memiliki kapasitas keuangan yang besar dan cenderung lebih stabil dalam jangka panjang dibandingkan sektor swasta. Hal ini dikarenakan negara memiliki berbagai sumber pendapatan yang berkelanjutan, seperti pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan kadang pinjaman luar negeri. Dengan kapasitas keuangan negara/pemerintah yang besar dan cenderung lebih stabil tersebut, seyogyanya dapat memberikan kesejahteraan yang lebih baik pula kepada pegawai atau pihak-pihak yang mengabdikan dan bekerja untuk negara dibandingkan dengan pengusaha.
Apabila dilihat dari sudut pandang jangka waktu pengabdian Hakim Ad Hoc yang bersifat sementara dengan waktu tertentu dibandingkan dengan Karyawan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dikaitkan dengan kapasitas keuangan, maka tidak berlebihan kiranya jika menilik UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut “UU Cipta Kerja). Dalam ketentuan Pasal 61A UU Cipta Kerja, pada pokoknya menyatakan bahwa dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja yang diberikan sesuai dengan masa kerjanya. Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja (selanjutnya disebut PP 35/2021) sebagai peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja tersebut, penghitungan besaran uang kompensasi kepada karyawan diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c yang pada pokoknya penghitungan PKWT selama lebih dari 12 (dua belas) bulan, dihitung secara proporsional dengan perhitungan: masa kerja x 1 (satu) bulan Upah. Artinya, berdasarkan rumusan penghitungan tersebut jika seorang karyawan telah bekerja selama jangka waktu 5 (lima) tahun secara berturut-turut sesuai dengan PKWT, karyawan tersebut akan memperoleh uang kompensasi sebanyak 5 (lima) kali dari upah yang diterimanya. Dengan adanya UU Cipta Kerja dan PP 35/2021 tersebut, jika diperbandingkan dengan “masa kerja” Hakim Ad Hoc, dilihat dari aspek kedudukan negara/pemerintah maka seyogya aturan terkait uang penghargaan dalam Perpres 5/2013 tersebut perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum yang ada, salah satunya dapat mengadopsi aturan yang ada dalam UU Cipta Kerja tersebut.
STATUS HAKIM AD HOC
Hakim Ad Hoc memiliki peran dalam sistem peradilan di Indonesia, tetapi sampai dengan ini status sebagai penyelenggara negara masih menjadi perdebatan, walaupun di dalam tugas dan kewenangannya Hakim Ad Hoc menjadi bagian dari penyelenggaraan negara yaitu melaksanakan fungsi yudikatif. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan aturan terkait status Hakim Ad Hoc itu sendiri di dalam peraturan perundang-undangan. Hakim Ad Hoc memiliki status yang berbeda dengan Hakim Karier yang notabene juga berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Jika kita kembali melihat sejarah penegakan hukum pasca reformasi, khususnya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, tidak berlebihan bila dianggap sebagai “cornerstone”. Penegakan hukum pasca reformasi, dimana didalamnya Hakim dinyatakan secara tegas sebagai penyelenggara negara dalam cabang yudikatif, yang dianggap sebagai salah satu pilar negara dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, tanpa ada pembedaan secara eksplisit antara Hakim Karier maupun Hakim Ad Hoc,” jelasnya.
Ditambahkan, sejatinya eksistensi Hakim Ad Hoc ini hanya terletak pada waktu yang bersifat sementara dan terbatas, artinya bahwa pada saat seseorang menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai Hakim Ad Hoc maka pada saat itu status yang bersangkutan adalah sebagai penyelenggara negara. Akibat adanya polemik/perdebatan mengenai status penyelenggara Negara terhadap Hakim Ad Hoc ini turut berdampak pula pada hak keuangan, tunjangan/fasilitas, dan perlindungan bagi Hakim Ad Hoc secara keseluruhan. Dengan demikian, seyogyanya penegasan secara terbatas terhadap status Hakim Ad Hoc ini perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius, dengan dipertegasnya kembali status sebagai penyelenggara negara yang menjalankan fungsi kekuasaan dibidang yudikatif.
“Berdasarkan kondisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc memiliki banyak kesamaan dalam hal tantangan finansial dan fasilitas. Dengan demikian kami Hakim Ad Hoc Tipikor dengan ini menyatakan sikap,” tegasnya.
Sikap dan tuntutan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Memohon kepada Presiden Republik Indonesia untuk dapat segera melakukan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim di Bawah Mahkamah Agung dan untuk dapat segera melakukan perubahan dan/atau penggantian atas Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2013 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc, agar menyesuaikan hak keuangan dan fasilitas bagi Hakim Indonesia (Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc) yang sesuai dengan biaya hidup yang layak dan seimbang dengan tanggung jawab dan resiko profesi hakim;
2. Mendukung Mahkamah Agung RI dan PP IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) untuk berperan aktif mendorong dan memperjuangkan kesejahteraan dan keselamatan Hakim Indonesia menjadi garda terdepan dalam mewujudkan harkat dan martabat serta wibawa profesi hakim melalui UU Jabatan Hakim;
“Demikian yang dapat kami sampaikan, kami berharap bahwa apa yang telah kami sampaikan dapat menjadi bahan perjuangan bersama-sama untuk mewujudkan harkat, martabat dan wibawa profesi hakim yang lebih baik dan sejahtera,” harap Hariyanto SAg SH. (rls)