Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
KH. Zulfa Mustofa, wakil ketua umum PBNU jelas seorang kiai, tak diragukan kedalaman ilmu agamanya tapi apakah beliau piawai memainkan irama politik dan trampil menahan godaan pesona politik ketika masuk ke panggung utama konflik elite PBNU ?
Apakah KH Zulfa Mustofa masuk dalam ranjau jebakan politik atau aksi untung kesempatan politik atau tak kuasa menahan godaan pesona relasi kuasa politik ?
Inilah pertanyaan “sexi” dan menarik untuk dibaca pasca KH Zulfa Mustofa memilih masuk menjadi “pemeran” penting di panggung utama konflik dualisme PBNU menjadi Pj. ketua umum PBNU atas inisiasi faksi Rois Am PBNU, KH Miftahul Akhyar.
KH Zulfa Mustofa salah satu mubaligh paling “menyala” di garis orbit bola dunia NU, tidak ada sekat faksi dan kelompok politik. Materi materi ceramah mendalam dan penguasaan kitab begitu fasih dengan humor segar.
Kini “kemewahan” tersebut menyempit di ruang NU, sebuah konsekuensi kontraksi sosiologis dari pilihan KH Zulfa Mustofa masuk ke panggung utama salah satu faksi konfliktual PBNU. Rumit sekaligus menggoda.
Dalam hal kaidah kaidah “Ushul fiqih” KH Zulfa Mustofa tentu fasih dalam konteks methodologi “istimbatul hukm”, pengambilan kesimpulan hukum fiqih tapi dalam pilihan politik sangat rumit, butuh navigasi jam terbang tinggi dan kematangan daya tahan “digempur” sekalgus menahan digoda sejuta pesona politik.
Konstruksi “DNA politik” NU, mengutip Mitsuo Nakamura, pengamat asing tentang NU, berbeda dengan ormas Islam “modernis”, bahkan partai politik, mudah dibaca dari mekanik organisatoris secara “hitam putih”, lebih sederhana, jarang ada kejutan kejutan.
NU justru kebalikannya. Pasalnya, ekosistem sosial NU terbentuk lebih dahulu melalui tradisi jaringan pesantren kemudian distrukturkan dalam formalisme organisasi bernama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, ormas Islam NU.
Dalam konteks inilah relevansi penegasan KH Makruf Amin, mantan Rois Am PBNU, bahwa NU lebih besar dari sekedar PBNU. Membaca NU lebih rumit, tidak bisa sekedar ditaklukkan dengan relasi kuasa struktural organisasi. Kekuatan kultural pesantren adalah variabel tak terpisahkan dalam membaca NU.
Karena itu, semata mata menyandarkan misalnya karena “di back up” elemen politik dari ‘luar’, sejarah NU membuktikan tidak selalu memenangi ruang konfliktual untuk menaklukkan NU.
Jika itu terjadi, ongkosnya mahal memperparah menyeret NU makin lemah independensinya sebagai ormas, rapuh kaki kakinya untuk berdiri “tawashut”, di titik tengah di antara kepentingan rakyat dan negara.
Dalam konstruksi “DNA politik” NU yang rumit itulah, KH Zulfa diuji kepiawaian dan ketrampilan politiknya di tengah godaan sorot kilau lampu pesona panggung politik konfliktual dualisme PBNU,
Inilah ujian politik tidak sederhana tapi juga berguna bagi KH Zulfa Mustofa untuk mengasah “tarian ritmis politiknya”, mengutip gaya naratif Emha Ainun Nadjib, dengan segala kemungkinan kejutan yang tak terduga.
Di atas segalanya, tentu penting menyadari bersama bahwa NU adalah ormas Islam. Dalam tradisi hukum Islam, sebuah tindakan dapat dianggap benar bukan karena menang menangan administratif karena back up politik kekuasaan tapi harus legitimated secara moral dan membawa maslahat keteduhan umat.
Sebuah ormas Islam, apalagi NU dengan puluhan juta pengikutnya, akan runtuh bukan ketika struktur mereka roboh tetapi ketika kompas moral tidak lagi memandu tindakan pemimpinnya. KH Zulfa berdiri tepat di antara dua pilihan yang rumit tersebut.
Wassalam.














