JAGAT Hukum Indonesia semakin gaduh. Hukum yang seharusnya menjadi piranti harmoni sosial kebangsaan dan tatanan kenegaraan kehilangan substansinya. Hukum dan penerapaannya dijalankan oleh Aparatur Penegak Hukum dan para Penyelenggara Negara hanya pada koridor prosedural dan senjata untuk saling menembak secara mematikan antarsesama baik lawan maupun kawan yang sudah pecah kongsi. Hukum bekerja hanya sebatas mekanikal dan robotic tanpa jiwa. Hukum berjalan hanya pada tataran terpenuhinya minimal dua alat bukti sebagai syarat sahnya proses penegakkan hukum. Hatta pada proses peradilan yang outputnya didominasi pada aspek kepastian hukum semata, abai terhadap aspek kamanfaatan dan keadilan publik.
Konsep Pembagian kekuasaan yang digagas oleh filsuf Inggris John Locke yang kemudian dikembangkan oleh Montesquieu dalam bukunya yang berjudul “L’Esprit des Lois” tentang Trias Politika hanya tercantum dalam konstitusi dan terbagi secara institusi yang kehilangan substansi. Mengutip pernyataan Arief Hidayat Hakim Mahkamah Konstitusi dalam acara Konferensi Hukum Nasional di Jakarta, (kompas.com, Rabu, 25 Oktober 2023 : Hakim MK Arief Hidayat: RI Tak Baik-baik saja, Ada Kekuatan Terpusat di Tangan Tertentu). Suatu pernyataan yang jujur atas fenomena yang terjadi terhadap kegaduhan atas Putusan MK yang terkenal dengan Putusan Nomor 90 yang memberi karpet merah dan jet ekspres sang putra mahkota. Dan satu tarikan nafas dengan pernyataan Gus Mus dalam puisinya: “Republik Rasa Kerajaan”. Adalah suatu pernyataan yang merepresentasikan suara kebatinan rakyat Indonesia.
Alih-alih terjadinya cek and balance antar tiga kekuasaan Negara sebagaimana konsep trias politika dan amanat konstitusi 1945, agar terwujudnya cita-cita para pejuang dan para pendiri bangsa untuk mensejahterakan dan terpenuhinya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Fenomena yang mengemuka justru terjadinya sinergi dan kolaborasi antar tiga kekuasaan Negara (para oknumnya) untuk bersama-sama melakukan korupsi. Orang-orang yang diduga/disangka dan didakwa dan divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi (sudah menjadi narasi public) apa yang disebut sebagai “apes” atau yang “ditarget” atau yang memang “sungguh terlalu”.
Amanat Reformasi 1998 yang dimotori para aktifis pergerakan baik dari mahasiswa, civil society dan mayoritas rakyat yang salah satu point nya adalah penyelenggaraan Negara yang bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) memasuki tahun perak reformasi (25 tahun) pada tahun 2023 ini. Fenomenanya menunjukan kondisi yang “tidak baik-baik saja”. Para aktivis reformasi yang dahulunya masih menggelegar dan “menggelora” bicara lantang tentang pemberantasan KKN, belakangan sebagian menjadi kehilangan nuraninya karena terpapar virus “power tend to corrupt”.
Dua lembaga Negara sebagai amanat reformasi adalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) dan Komisi Pemberantasan korupsi (KPK). Dua lembaga tersebut yang hari hari ini menghiasi layar kaca dan tampilan media social karena pucuk pimpinannya membuat kegaduhan public di dunia nyata dan dunia maya.
KPK yang dibentuk berdasarakan pertimbangan filosofis dan sosiologis karena menurunya kepercayaan public pada institusi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan), alih alih menjadi trigger dalam hal pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, justru diduga menjadi alat / wadah berlindung bagi oknum pegawai dan pimpinan KPK yang justru menjadi tersangka dengan dugaan pada kasta tertinggi dalam tindak pidana korupsi (Abraham Samad, kompas.com, 24 Nov 2023). Pada poin inilah korupsi berada di titik kulminasi. (*)
Samarinda, 26 November 2023
Penulis,
MAHPUDIN
Hakim Adhoc Pengadilan Tipikor
Pada Pengadilan Negeri Samarinda, Kalimantan Timur