Okeh : Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa dan Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat
Di negeri yang katanya kaya raya ini—kaya tambang, kaya laut, kaya hutan, kaya nikel, kaya emas, kaya batu bara—mengapa justru banyak rakyatnya yang kaya sabar menunggu janji kemakmuran? Jawabannya jelas: karena kekayaan itu semakin tak terlihat oleh rakyat, tapi semakin terlihat oleh perusahaan multinasional. Di tangan siapa sebenarnya kekayaan itu berlabuh? Dan di mana suara lantang PWI dalam membela tanah air yang digerogoti tanpa malu ini?
Hari ini kita tidak lagi melihat kapal perang penjajah. Tidak ada lagi meriam mengarah ke istana. Justru kita melihat pesawat jet pribadi yang membawa investor, menggendong perjanjian kerjasama yang ujung-ujungnya membuat bangsa ini seperti anak kos yang harus bayar tagihan di negeri sendiri.
Di tengah ironi itu, pers—terutama PWI—harus menjadi alarm nasional, bukan justru menjadi lullaby yang meninabobokan rakyat.
Mari kita bicara apa adanya, agar tidak ada lagi yang pura-pura tuli terhadap ancaman masa depan bangsa ini.
Pers Dari Penjaga Kedaulatan Menjadi Penjaga Agenda Siapa?
Dulu pers adalah garda terdepan kemerdekaan, kini sebagian malah menjadi garda terdepan promosi korporasi asing.
Dulu pers menulis demi bangsa, kini sebagian menulis demi engagement dan amplifikasi sponsor.
Dulu pers berperang dengan kolonialisme, kini sebagian berdamai dengan penjajahan gaya baru yang datang membawa kata-kata mutiara “investasi besar dan modernisasi”.
Ironi paling menyakitkan bukan ketika wartawan dibungkam, tetapi ketika wartawan sukarela menutup mulutnya.
Media kita luar biasa kreatif.
Ketika sumber daya alam dirampok, yang ditulis justru drama selebriti cerai.
Ketika rakyat menjerit karena tanahnya diambil, yang viral justru berita gosip artis tersandung kasus cinta segitiga.
Apa kabar nasionalisme itu?
Jangan-jangan sudah dijual dalam paket iklan advertorial.
Bangsa yang Kaya, Tapi Merelakan Kekayaannya Pindah Tangan
Mari kita lihat hasil investasi penjajahan baru yang begitu “hebat”:
Kekayaan SDA Siapa yang menikmati?
Emas Papua “Teman lama” dari seberang laut
Nikel Sulawesi Korporasi asing yang tersenyum sambil memeluk profit
Batu Bara Kalimantan Pengusaha global, rakyat dapat polusi
Minyak & Gas Kita tetap beli mahal
Pasir Kuarsa & Mineral kritis Pergi dalam bentuk mentah, kembali dalam bentuk mahal
Jika tanah ini diibaratkan rumah kos, maka:
Kita hanya jadi satpam yang menjaga rumah,
sementara pemilik modal menentukan siapa yang boleh masuk
dan berapa banyak perabotan yang boleh dibawa pulang.
Tapi pers kadang memuji:
“Lihat betapa dunia mempercayai kita!”
Padahal dunia tidak mempercayai kita…
dunia hanya menyukai harta kita.
Dan kita tersipu-sipu bangga menjadi tuan rumah yang polos.
Pers Terkadang Terlalu Sopan Kepada Penjajah Ekonomi
Pers seharusnya menjadi pemantik perlawanan, bukan pemadam keresahan.
Tetapi apa yang sering terjadi?
Wartawan investigasi malah dianggap pengacau
Liputan kritis dianggap anti-pembangunan
Sikap pro-kedaulatan dianggap radikal
Analisa geopolitik SDA dianggap sok intelektual
Sehingga jadilah pers yang:
“Berani kepada rakyat kecil, tapi gemetar di depan pemilik modal.”
Jika pers hanya lantang kepada yang lemah dan membisu kepada yang kuat,
itu bukan pers – itu pengecut!
*Algoritma Global Senjata Penjajah yang Tidak Terlihat*
Ada musuh baru bernama
algoritma.
Ia mengatur apa yang kita lihat dan apa yang harus kita lupakan.
Berita tentang konflik penguasaan tambang bisa tenggelam.
Berita tentang energi hijau yang ternyata kolonialisme model baru bisa lenyap.
Yang viral tetaplah drama dangkal dan sensasi murahan.
Jika pers tidak menguasai teknologi informasi,
maka narasi bangsa akan diimport dari negeri jauh—dengan pajak yang sangat mahal: kesadaran kita.
Dan ketika kesadaran dijajah,
penjajahan fisik hanya tinggal menunggu waktu.
PWI Bukan Fosil Demokrasi
PWI harus:
▪︎ Berani mengontrol media yang sudah mulai bermental pengkhianat
▪︎ Melatih wartawan agar paham geopolitik SDA
▪︎ Membuat sistem distribusi informasi yang tidak dikendalikan Big Tech asing
▪︎ Menjadi pelindung wartawan yang melawan kartel SDA internasional
▪︎ Mendukung kebenaran meski sponsor mengancam
Karena jika PWI hanya sibuk mengurus kartu anggota,
maka organisasi ini hanya akan dikenang sebagai sekumpulan lencana tanpa makna.
Jangan Mau Dijajah Tanpa Disadari
Penjajahan baru sangat sopan:
Tidak membawa senjata
Tidak mengancam langsung
Hanya datang dengan kontrak kerja sama
Dan senyum ramah yang berlapis agenda
Mereka tidak menembak kita…
mereka hanya meminta kita menandatangani nasib buruk kita sendiri.
Dan pers seringkali berdiri di samping mereka,
membagikan press release dengan bangga:
*“Investasi asing masuk miliaran dolar!”*
Tak pernah disebut:
*Berapa persen rakyat yang benar-benar sejahtera?*
Siapa yang menanggung kerusakan lingkungan?
Ke mana larinya cuan tambang itu?
Apa yang akan diwarisi anak cucu kita selain lubang menganga?
Itu bukan lagi jurnalisme.
Itu brosur promosi penjajahan.
Bangsa Ini Tidak Akan Selamat Dengan Pers yang Sering Takut Mati
Wartawan sesungguhnya bukan pekerjaan santai.
Ini medan perang.
Yang dilawan bukan hanya kejahatan,
tetapi kebohongan yang dipersenjatai uang.
Kalimat paling mematikan dalam profesi ini adalah:
*“Sudahlah, tidak usah diliput. Itu sensitif.”*
Jika semua yang sensitif dibiarkan,
yang tersisa hanyalah jurnalisme yang steril dari keberanian.
Dan bangsa yang kehilangan keberanian…
akan berlutut sebelum bertempur.
Pilihan PWI Hari Ini Akan Menentukan
Apakah Indonesia Tetap Merdeka atau Menjadi Budak Ekonomi Modern
PWI harus menjawab:
Mau menjadi penjaga kedaulatan informasi?
Atau asisten humas kekuatan modal global?
Jika PWI diam,
penjajah ekonomi akan bersorak dan tertawa.
Jika PWI bergerak dan bersuara,
Indonesia akan tegap berdiri di atas kakinya sendiri.
Bangkitlah PWI!
Bangkitlah pers Indonesia!
Pena Anda bisa menyelamatkan negeri ini
atau justru menguburkannya perlahan.
*Penutup*
Jika suatu hari Indonesia benar-benar kehilangan kekayaan alamnya,
dan rakyat menjadi budak di tanah sendiri,
maka pada nisan sejarah bangsa akan tertulis:
– Indonesia tidak kalah karena penjajah kuat.
– Indonesia kalah karena pers memilih nyaman dan lupa untuk berjuang.
– Melalui HPN 2026 Bangkit Melawan atau Diam DITINDAS dan DIJAJAH
Penulis :
Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa
dan Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat di Jakarta














