Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
Ada tiga alasan minimal dalam konstruksi penulis tentang urgensi Muktamar NU dipercepat untuk mengakhiri eskalasi konflik internal elite PBNU secara bermartabat, tuntas dan menyeluruh.
Inilah sekaligus momentum NU kembali ke akar tradisinya. Bukan sekedar organisasi yang diatur pasal pasal AD/ART tapi dijaga dan ditumbuhkan dengan kekuatan moral, tempat bermusyarwarah bukan power instruksi, ruang “ngalap berkah” bukan akses birokrasi untuk ambisi serakah.
Muktamar adalah forum permusyawaratan tertinggi dalam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Urgensi percepatan Muktamar karena “kekhususan situasional” terkait eskalasi konflik internal elite PBNU sudah sampai pada puncak “titik didih” sangat mengkhawatirkan.
Konflik elite PBNU saat ini saling pecat dan saling buka “aib” sesama tokoh NU di ruang publik, jauh lebih “dalam” dibanding konflik jelang Muktamar NU tahun 1984 antara faksi “Situbondo”, faksi KH As’ad Syamsul Arifin versus faksi “Cipete”, faksi KH Idham Kholid, ketua umum PBNU.
Meskipun wibawa para kiai NU begitu tinggi di era tahun 1984 tapi konflik NU tahun 1984 tidak main “pecat” dan merendahkan kecuali KH. As’ad dkk dengan “cara NU” meminta KH Idham Khalid mundur dari posisi ketua umum PBNU. Konflik diselesaikan dengan cara elegan dan tuntas lewat forum Muktamar. Itulah NU.
Konflik internal elite PBNU saat ini jelas tidak bisa ditutup tutupi seolah olah bagian dari kekayaan tradisi NU, dari “gegeran” lalu endingnya “ger geran”, tidak mempan lagi untuk membendung persepsi negatif publik tentang NU, terlebih di era media sosial “borderless”, tanpa batas.
Itulah alasan pertama urgensi Muktamar NU dipercepat untuk menjaga NU dari kemungkinan dampak “mudlorot” lebih jauh, memproteksi effect luka sosiologis bagi warga NU. NU terlalu mahal hanya untuk dikelola demi kepentingan elite PBNU secara konfliktual.
Kedua, memaksakan rapat pleno PBNU atas nama klaim otoritas organisasi oleh Syuriah untuk “pemecatan” Gus Yahya sekaligus menunjuk “Penjabat” ketua umum PBNU adalah cara parsial, adhoc dan “menang menangan”, potensial menimbulkan turbulensi, goncangan dan perlawanan eskalatif dan sporadis dari faksi lain.
Hasil pertemuan forum sesepuh (Musyasyar) NU di pesantren Tebuireng Jombang (5/12/2025), salah satunya bahwa pemakzulan Gus Yahya dari posisi ketua umum PBNU tidak sesuai dengan ketentuan AD/ART NU penting digaris bawahi meskipun forum Tebuireng tersebut secara organisasi tidak dapat membatalkan keputusan Syuriah PBNU.
Tapi NU sekali lagi lebih dari sekedar organisasi melainkan ekosistem sosial di mana suara kiai kiai pesantren adalah suara moral bagi NU. Ini bisa menjadi alasan moral bagi 20 Badan Otonom PBNU melakukan aksi “dengan cara” mereka di mana dalam konperensi pers bersama mereka menghendaki penyelesaian “islah”.
Kita jelas tidak menghendaki timbulnya turbulensi dahsyat di tubuh PBNU. Karena itu, penting deteksi dini kemungkinannya. Bukan hanya soal siapa paling bertanggung jawab tapi ini tentang mempertaruhkan marwah NU sebagai ormas Islam. Kekuatan NU sebagai mandataris moral penuntun keteladanan bisa ambruk dan “ambyar” di mata umat.
Konflik hari ini tampaknya sulit diselesaikan dengan narasi “santri” (Tanfidziyah) ;wajib taat pada “kiai”(Syuriyah), mudah dibalik dengan kontra narasi bahwa Syuriah wajib taat pada “Musyasyar”, sesepuh NU. Klaim otoritas organisasi tidak memadai lagi untuk solusi konflik, hanya adu argumen tak akan pernah selesai kecuali lewat Muktamar dipercepat.
Ketiga, tentu sebaliknya Gus Yahya harus “legowo” bukan hanya membuka jalan lapang mengantarkan percepatan Muktamar tapi juga “legowo” tidak mencalonkan lagi dalam kandidasi ketua umum PBNU dalam Muktamar NU mendatang. Pasalnya, suka tidak suka Gus Yahya adalah bagian dari titik epicentrum eskalasi konfliktual elite PBNU saat ini.
Di arena Muktamar itu pula harus dipersiapkan regulasi regulasi mengikat bahwa siapa pun Rois Am dan ketua umum PBNU terpilih dan kepengurusan yang dibentuknya harus diatur ketentuan untuk membatasi kerja kerja ke NU an mereka tidak diproyeksikan sebagai kerja politik pragmatis dalam relasi kekuasaan politik.
Titik inilah sumber konflik internal elite PBNU saat ini, rapuh independensinya sebagai ormas Islam dalam relasi kuasa politik, sulit memainkan peran “tawashut”, di titik tengah di antara kepentingan rakyat dan kepentingan negara
Kerjasama taktis dengan pihak lain, termasuk pemerintah harus diletakkan dalam prinsip tidak mendegradasi moralitas NU sebagai ormas Islam di mata “jamaah” (umat) dan maslahat bagi “Jam’iyyah”, tidak personal pengurus.
“Ala kulli hal, singkatnya, paparan di atas hendak menegaskan bahwa apa yang disebut Fahri Ali, pengamat sosial politik, bahwa perkembangan NU hari ini “gagap” menghadapi hasrat negara, penting bagi NU kembali ke akar kuat tradisinya sebagai ormas Islam.
Muktamar NU yang dipercepat adalah momentum untuk mendesain orientasi dan “gestur” baru NU tersebut – selain karena “kekhususan situasional” untuk mengakhiri konflik internal elite PBNU secara tuntas.
Wassalam.














