banner 728x250

UNIVERSITAS DARUL MA’ARIF KAPLONGAN DAN PENDIDIKAN KARAKTER , SOLUSI JALAN MASA DEPAN

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

Berbincang panjang di ruang Rektor Universitas Darul Ma’arif (UDM) Kaplongan, Indramayu bersama sang Rektor yang “Stylish”, Tobroni, S.pd., M.pd.(25 Sept 2025), mengingatkan penulis pada sebuah buku tentang pendidikan karakter berjudul “Surat surat Ideologis seorang Ayah”, ditulis J. Rockefeller, Taipan Minyak Pertama di dunia.

Penulis merasa penting dan bernilai untuk menulisnya bukan sekedar tentang ruangan dan gedung UDM yang nyaman, megah dan kokoh tapi tentang spirit pendidikan karakter, sebuah solusi jalan masa depan generasi bangsa terutama dari basis sosial ormas Islam NU menghadapi tantangan “disrupsi”, ketidak pastian masa depan

Penulis tentu sangat mengenal H. Dedi Wahidi, perintis, desainer dan sekaligus “Owner” lembaga pendidikan NU Kaplongan Indramayu yang sering disebut “kampus hijau” ini sebagaimana banyak pihak terutama kader kader NU mengenalnya, selain beliau tokoh NU, juga Anggota DPR RI empat periode berturut turut hingga saat ini.

Banyak yang mengenal beliau secara dekat tapi sedikit yang mampu mengartikulasikan kenapa beliau “sukses” membangun lembaga pendidikan NU di sebuah perkampungan dari tingkat Taman Kanak Kanak (TK) hingga Universitas dengan level sangat representatif. Kuncinya adalah kekuatan karakter, dalam istilah Bung Karno “Character Building”.

Dalam tafsir artikukatif penulis – tentu bisa berbeda dengan yang lain, ada empat hal yang “built in” dalam H. Dedi Wahidi. Ini bukan tentang pujian melainkan ruang sharing khususnya di lingkungan penggiat pendidikan NU kenapa “sukses” merintis pendidikan, bahkan jalan politik dan titik tekan cara mendidik staf, guru guru dan siswa siswi di “kampus hijau”.

Yaitu konsistensi dalam prinsip dengan urutan presisi dalam pilihan strategis, pilihan taktis dan ruang toleransi pilihan pragmatis, sesuatu hal tidak mudah bisa dilakukan konsisten di lingkungan NU dalam prakarsa pendidikan, politik dan ormas, cenderung “zig zag”, kabur mana yang prinsip, strategis, taktis dan pragmatis tapi karena “rumit” itulah membaca NU jadi “sexi” dan menarik.

Bahkan pengamat asing sekelas Mitsuo Nakamura, sulit membaca NU. NU terlalu piawai “merumit rumitkan masalah sederhana”, juga pandai “menyederhanakan masalah yang rumit”. Dalam beberapa hal, tidak dapat dibaca dari konstruksi urutan empat hal di atas. Ini pengaruh khazanah kitab “Ushul fiqih” pesantren yang dimaknai kadang terlalu elastis, “lentur” selentur lenturnya.

Kembali ke soal pendidikan karakter, ketika penulis berbincang sepintas dengan dua mahasiswa UDM yang sedang menunggu giliran menghadapi ujian sidang skripsi dengan raut muka yang berfikir “keras kepala”, penulis menangkap proses pendidikan karakter sedang “otw” dalam suasana kebatinan mahasiswa tersebut.

Dua mahasiswa tersebut jelas berbeda tetapi sama sama anak manusia yang memiliki mimpi masa depan seperti anak J. Rockeffeler yang sedang berfikir “keras kepala” membaca surat ayahnya seperti ditulis dalam buku di atas. J. Rockefeller menulis surat begini kepada anaknya :

“Kamu harus percaya bahwa dirimu sendiri adalah modal terbesarmu, bukan kekayaan ayahmu. Kamu akan berdiri kokoh oleh dirimu sendiri”, tulis J. Rockefeller pada anaknya.

“Di dunia ini tidak ada satu pun yang bisa mengalahkan ketekunan. Pendidikan saja tidak cukup. Hanya ketekunan yang tidak akan mengecewakan. Itulah karakter”, tulisnya lebih lanjut.

Tentu Tobroni, S.pd., M.pd, Sang Rektor yang selalu dengan tampilan “fashionable” tidak persis mengucapkan kalimat seperti diucapkan Rockefeller di atas kepada mahasiswa yang ia bimbing dalam ujian sidang skripsi

Tapi sang Rektor dengan “standar” tinggi yang diterapkan H. Dedi Wahidi , sang “owner” telah membentuk “ekosistem” atau dalam istilah Gus Dur, disebut “subkultur” dalam kerja pendidikan di “kampus hijau’ bahwa konsistensi dan ketekunan adalah kunci.

Relasi kependidikan antara sang Rektor dan mahasiswa tersebut hendak mengirim sebuah pesan bahwa mereka telah sepakat lebih “memilih nilai” proses dibanding mendapat ijazah yang bisa “dibeli” kapan saja secara gampangan tapi zero nilai ketekunan,

Bahwa konsistensi berpegang pada empat hal tersebut di atas, yaitu prinsip, strategis, taktis dan pragmatis secara presisi dalam urutannya memaksa semua unsur di “kampus hijau” bekerja dalam standart konsistensi dan ketekunan sebagai kunci berdiri kokoh dalam segala “cuaca” dan situasi.

Dalam ekosistem sosial itulah pembentukan “karakter” berlangsung “otw” dalam sirkulasi pendidikan di “kampus hijau”. Berat sudah pasti tapi membentuk karakter kokoh adalah solusi jalan bagi anak didik menghadapi tantangan disrupsi dan ketidak pastian masa depan.

Nilai paedagogisnya adalah bahwa ketekunan dan kekuatan karakter bukan saja pilihan modal terpenting untuk sukses dalam mengelola pendidikan di lingkungan NU – yang tak jarang “diremehkan” oleh “orang luar”

Tapi itulah seharusnya cara sebuah lembaga pendidikan mendidik dan membentuk karakter anak anak didiknya mengantarkan ke gerbang pilihan masa depannya.

Konsepsi pendidikan Nasional seperti konsep “Link and Match” Era Mendikbud Wardiman Djojonegoro atau yang terbaru konsepsi “Merdeka Belajar” ala Nadiem Makariem adalah pendekatan pragmatis , sulit membekali basis mental menghadapi “disrupsi” ketidak pastian masa depan.

Karena itu, seperti kata budayawan Muchtar Lubis, membangun jalan peradaban Indonesia maju adalah tentang membangun karakter. UDM telah memulainya jauh dari sorot kamera di tengah banyaknya pemimpin “tukang ngedabrus” di media sosial.

Wassalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *