banner 728x250

WAJIB BELAJAR 13 TAHUN DAN PROYEKSI PENGUATAN DEMOKRASI DI KAB/KOTA CIREBON DAN INDRAMAYU

Oleh : Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

Pendidikan adalah jalan sistemik paling “teruji” sekaligus “terpuji” dalam sejarah peradaban bangsa bangsa, mampu menarik mobilitas vertikal kualitas masyarakat dalam beragam aspek kehidupan.

Di sini konteks urgensi penanggulangan Anak Tidak Sekolah (ATS) dalam proyeksi mendukung program wajib belajar 13 tahun (rata rata tamat SMA/SMK/ Aliyah – tahun pertama kuliah).

“Semakin tinggi rata rata pendidikan suatu bangsa semakin membuka ruang kemungkinan lebih sejahtera, secara linier akan memberi dampak pada kualitas masyarakat, termasuk indeks kematangan demokrasi”.

Demikian statement Seymon Martin Lept, seorang sosiolog dan ilmuan politik, yang disepakati pula oleh para “jumhur” – istilah pesantren atau konsensus umum para pakar ilmu ilmu sosial politik.

Perhatikan secara seksama angka angka di bawah ini berbasis data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024.

Pertama, variabel rata rata lama sekolah (RLS), Kab Cirebon dengan RLS 7,6 tahun – defisit 5, 4 tahun, RLS kota Cirebon 10,3 tahun – defisit 2,7 tahun dan RLS kab Indramayu 6, 9 tahun – defisit 6,1 tahun – dari proyeksi ideal wajib belajar 13 tahun di atas.

Kedua, kemiskinan dengan standart BPS 20 ribu/hari/kapita. Kab Cirebon sebesar 11.2% (246 ribu dari total populasi penduduk 2. 3 juta), kota Cirebon 9,2% (27, 36 ribu dari total populasi penduduk 345 ribu orang) dan Indramayu sebesar 11,93% (236 ribu dari total populasi penduduk 1, 9 juta).

Ketiga, PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) atau nilai akhir produk barang dan jasa, kab Cirebon rata rata 28 juta/kapita/tahun, kota Cirebon rata rata 88 juta/kapita/ tahun dan Indramayu rata rata 54 juta/kapita/ tahun.

Indramayu penyumbang PDRB terbesar ke Jawa Barat “se- Ciayumajakuning”. Indramayu (3,72), kab Cirebon (2,37), dan kota Cirebon (1,8), Artinya, Indramayu lebih kaya dari kab Cirebon tapi sekaligus lebih besar “gini rasio” – tingkat ketimpangan sosialnya dibaca dari variabel angka kemiskinan.

Itulah “PR” bagi kabupaten/kota Cirebon dan kabupaten Indramayu (secara politik disebut Daerah Pemilihan Jawa Barat VIII) dalam proyeksi mengupgrade kualitas masyarakat lebih matang dalam indeks demokrasi.

Hal ini penting sebagai konsekuensi mendukung penguatan pranata sosial dibaca dari posisi Indonesia sebagai negara “Upper Middle Income Countries”, negara dengan oendapatan “menengah atas” menurut Bank Dunia sejak tahun 2023.

Angka angka di atas secara demografis menjelaskan bahwa masyarakat kab Cirebon, Kota Cirebon dan Kab Indramayu masih jauh dari posisi ideal dalam indeks kematangan demokrasi.

Konstruksi sosial masyarakatnya baik tingkat pendidikan maupun income per kapita masih bersifat piramida sosial di mana kelompok “the have” dan terdidik relatif kecil dibanding mayoritas kelas “menengah bawah – ke bawah”.

Masyarakat dengan mayoritas demografis seperti dalam potret di atas mudah ditaklukkan pilihannya oleh uang, dalam istilah Prof. Burhanudin Muhtadi disebut “vote buying”, kuasa uang, dan mudah ditindih manipulasi pencitraan instan di era media sosial saat ini.

Tokoh politik dengan kredibilitas tinggi, integritas teruji dan rekam jejak politik panjang dalam potret model masyarakat di atas akan kesulitan, bisa tenggelam kecuali adaptif dengan manuver manuver politik taktis dan bahkan tak terhindarkan cara pragmatis.

Tokoh politik dengan kualifikasi mumpuni di atas relatif akan mudah dipilih jika masyarakat sudah di level kualitas kematangan demokrasi yang tinggi, Yaitu masyarakat yang “well informed” – melek literasi isu isu politik, berpendidikan memadai dan kritis – yang sering disebut “civil society”.

Inilah, sekali lagi, problem konstruksi sosial kita. Kematangan demokrasi tidak bertumbuh. Masyarakat kita hanya berlimpah informasi tapi miskin literasi, mudah menjadi korban manipulasi “hoax” pencitraan dan “vote buying”.

Akibatnya kita sulit mendapatkan pemimpin dalam kualifikasi etika dan kompetensi memadai. Hasilnya politik hanya urusan “vote buying” atau kuasa uang, hanya urusan pemain sinetron politik – bukan tentang memilih pemimpin.

Demokrasi direduksi maknanya hanya urusan teknis mencoblos dalam pemilu atau pilkada, tidak diletakkan sebagai prasyarat bertumbuhnya proses pendidikan dalam keseimbangan sosial, sebuah proses transformasi sosial yang berdampak pada pelembagaan basis basis sosial demokrasi yang matang.

IItu sebabnya dulu Dr. Sutomo, “ketua” panitia adhoc penyusunan draf UUD 1945 (yang asli) tidak memasukkan pemilu dalam pasal pasal di UUD 1945. Alasannya sederhana, bangsa Indonesia di atas 80% buta huruf dan miskin, tidak cocok dengan sistem demokrasi (barat), potensial merusak mentalitas bangsa.

Kini, mengutip judul Roman Prof Sutan Takdir Alisyahbana “Layar terkembang”, era reformasi telah membawa kita berlayar jauh ke tengah dengan sistem pemilu proporsional “open list”, daftar terbuka, pemilu paling rumit di dunia,

Tidak ada jalan lain untuk mengupgrade kualitas demokrasi kita kecuali lewat jalan sistemik pendidikan, atau kita tetap menikmati “jalan di tempat” seperti saat ini dengan kemungkinan resiko jenuh menimbulkan turbulensi dan goncangan politik dahsyat seperti gerakan 1998.

Wassalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *