Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan pengurus NU Jawa Barat (2010 – 2021).
Mardiono, Plt Ketua Umum PPP, adalah aktor paling bertanggung jawab dibalik gagalnya PPP masuk “Senayan”(DPR RI), pertama kali dalam sejarah PPP sebagai partai warisan umat Islam, terlempar dan terhempas dari kursi Senayan, gagal menembus 4% ambang batas parlemen.
Menggusur Mardiono dalam Muktamar PPP ke – X, 27 – 29 September 2025, di Jakarta, satu satunya jalan penyelamatan PPP kembali ke Senayan dalam pemilu 2029. Itu artinya menyelamatkan asset partai warisan umat Islam untuk terus berkontribusi dalam “Amar Makruf Nahi Munkar” di ruang legal politik
PPP bukan partai politik yang didirikan oleh tokoh tokoh politik Islam karena motiv pragmatisme politik melainkan wadah aspirasi politik umat Islam. Ngototnya Mardiono maju kembali di Muktamar PPP ke – X sama sekali tidak merepresentasikan kekuatan tokoh umat Islam di belakangnya.
Ini hanyalah “nafsu” politik Mardiono untuk mengendalikan PPP sebagai “tool” atau instrument deal deal pragmatisme dalam relasi kekuasaan politik, dia tidak pernah menyesali sebagai orang pertama dalam sejarah PPP yang gagal membawanya masuk ke “Senayan”.
Mardiono bukan tokoh “simpul”;politik umat Islam, tidak didukung oleh kekuatan representasi politik tradisional PPP seperti basis pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Ia bukan tokoh yang mencerminkan spirit gambar Ka’bah, lambang PPP, simbol persatuan politik umat Islam.
Lambang Ka’bah adalah nafas perjuangan PPP sejak awal didirikan tahun 1973 di mana keislaman dan kebangsaan dalam satu tarikan nafas dalam PPP, ibarat dua keping logam dalam satu mata uang, tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Itulah sejatinya kekuatan “identitas politik” PPP yang hilang dalam pemilu 2024 lalu saat dipimpin Mardiono, hingga terlempar dari “Senayan”, pusat dinamika kekuatan politik nasional berkumpul.
Tak terbayangkan bagaimana nasib PPP dalam pemilu 2029 kelak – jika Mardiono yang bukan simpul tokoh umat dan gagal memimpin PPP dalam pemilu 2024 dipaksakan atau memaksakan diri memimpin kembali PPP dalam Muktamar PPP ke – X
Konstruksi di atas mengirim pesan betapa penting mengembalikan PPP ke “fitrah” perjuangannya dengan lambang Kabah, dipimpin figur yang didukung sepenuhnya oleh basis basis tradisional umat Islam menuju pemilu 2029.
Ini bukan sekedar romantisme historis masa lalu tapi karena minimal dua alasan historis sangat penting.
Pertama, seperti dimuat dalam buku biografi KH. Bisri Syansuri berjudul “Tegas Berfiqih, Lentur Bersikap” – PPP adalah kiblat persatuan umat Islam, representasi politik dari fusi partai NU, Perti, Parmusi dan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia).
Artinya, tokoh politik yang memimpin PPP adalah “simpul” tokoh umat, sekurang kurangnya tokoh politik yang sepenuhnya di back up basis basis tradisional PPP. Tanpa itu PPP kehilangan ruh kekuatannya sebagai partai politik warisan umat Islam.
Kedua, mengutip Dr. Affan Gafar, salah satu perancang Undang Undang politik 1999, kekuatan PPP dalam pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi adalah “identitas politik” keislamannya di tengah menjamurnya kehadiran partai partai berbasis ormas dan massa Islam dalam pemilu tahun 1999.
PPP tetap “eksis” di tiga besar setelah PDIP dan partai Golkar. PPP tetap mampu menjadi partai Islam terbesar di parlemen (59 kursi) meskipun dijepit oleh PKB (51 kursi), PAN (35 kursi), PBB (13 kursi) dan partai partai Islam “medioker” lainnya.
Peneguhan kembali “identtitas politik” PPP tentu berbeda dengan “politik identitas” yang akhir akhir ini dikampanyekan untuk dijauhkan di ruang narasi publik. “Identitas politik” Islam PPP adalah warna kekhususan politik PPP dari sanad para pendirinya sementara “politik identitas” adalah gerakan politik memainkan agama, ras dan suku untuk menyerang kelompok lainnya.
Cara di atas itulah dalam perspektif penulis akan mampu menyelematkan nasib PPP dalam kontestasi pemilu 2029. Presiden Prabowo sebagai tokoh yang sangat mengerti prinsip prinsip demokrasi tidak akan melakukan “cawe cawe”:di Muktamar PPP ke X, akan membiarkan demokrasi di internal partai hidup sesuai mekanisme yang diatur dalam AD/ART partai masing masing.
Beliau hemat penulis tidak akan melakukan “cawe cawe” seperti pernah dilakukan Presiden Jokowi yang ugal ugalan mengkooptasi sejumlah partai politik untuk kepentingan dinasti politiknya.
Di luar cara di atas dan misalnya PPP tetap kembali dipimpin Mardiono lewat Muktamar PPP ke X, tidak akan mampu “rebound” kembali ke “Senayan”, Kesadaran inilah yang harus dibangun bersama oleh seluruh kader PPP, khususnya, pemilik suara di Muktamar PPP ke – X.
Wassalam.