banner 728x250

SIAPAKAH YANG MERUSAK KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA?

Oleh : Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa

Agen Asing, Komplotan Politikus Jahat, atau Masyarakat yang Kehilangan Ideologi dan Nilai Kebenaran?

Di negara yang konon berdiri di atas hukum, sering kali hukum justru menjadi barang dagangan. Kepolisian Republik Indonesia — lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan penjaga hukum dan ketertiban — kini sering tampak seperti kapal besar yang kehilangan kompas moralnya. Pertanyaan yang menggigit pun muncul: siapa sebenarnya yang merusak institusi kepolisian kita?

Apakah agen-agen asing telah menyusup untuk melemahkan sendi-sendi negara dari dalam? Ataukah para politikus busuk di belakang layar telah menjadikan polisi sebagai alat kekuasaan dan perlindungan bisnis kotor mereka? Atau, lebih getir lagi, jangan-jangan kerusakan itu mencerminkan wajah masyarakatnya sendiri — bangsa yang kehilangan ideologi, integritas, dan nilai kebenaran?

1. Polisi dalam Jebakan Kekuasaan

Dalam sistem demokrasi yang sudah lama dibajak oleh uang dan ambisi, institusi kepolisian sering dijadikan alat kekuasaan. Banyak kasus menunjukkan bagaimana hukum bisa “dipesan” melalui jaringan elite politik dan ekonomi. Polisi bukan lagi pengayom rakyat, melainkan penjaga kepentingan golongan.

Setiap kali muncul kasus besar, dari tambang ilegal, korupsi pejabat, hingga konflik politik, selalu ada bayangan bahwa siapa yang bisa membeli hukum, dialah yang menang. Ketika integritas bisa ditukar dengan amplop, lembaga sebesar Polri pun bisa direduksi menjadi biro jasa legal untuk kaum berduit.

2. Bayangan Operasi Asing Penetrasi Halus dan Sistemik

Bukan teori konspirasi jika dikatakan bahwa lembaga penegak hukum di banyak negara sedang diincar oleh kekuatan asing. Cara kerja mereka tidak lagi dengan senjata, melainkan dengan infiltrasi ideologis dan ekonomi.
Melalui pelatihan, kerja sama intelijen, hibah peralatan, hingga sistem keamanan siber, perlahan-lahan kontrol bisa berpindah tanpa disadari. Saat algoritma keamanan negara diatur oleh sistem asing, maka kedaulatan hukum nasional hanya tinggal slogan.

Agen-agen asing tidak perlu menyamar sebagai mata-mata, cukup menanamkan kepentingan mereka lewat proyek kerja sama atau “modernisasi kepolisian”.
Maka jangan heran bila kadang keputusan operasional, prioritas penyelidikan, atau arah kebijakan keamanan terasa tidak lagi berpihak pada rakyat, melainkan pada stabilitas yang menguntungkan kekuatan global.

3. Politik Busuk: Polisi Dijadikan Bidak di Papan Catur Kekuasaan

Politik praktis adalah racun paling berbahaya bagi profesionalisme polisi. Ketika jabatan bergantung pada restu kekuasaan, netralitas berubah menjadi ilusi.
Ada politikus yang memelihara hubungan istimewa dengan aparat; ada pula yang menunggangi kekuatan bersenjata untuk menekan lawan. Polisi menjadi alat untuk menangkap, menakut-nakuti, dan mengamankan proyek politik.

Dalam konteks ini, banyak perwira jujur dan idealis yang akhirnya tersingkir, karena sistem memberi ruang luas bagi mereka yang pandai menjilat, bukan bagi mereka yang setia pada konstitusi.

4. Masyarakat yang Rusak: Polisi adalah Cermin Kita

Namun, menuding polisi saja tak cukup. Institusi ini lahir dari rahim masyarakat yang sama. Jika rakyatnya gemar menyuap, menghalalkan kebohongan, memuja uang dan kekuasaan lebih dari kebenaran, maka polisi hanyalah refleksi dari kerusakan itu.
Seseorang bisa mengenakan seragam dan pangkat, tapi bila jiwanya dibentuk oleh budaya pragmatis dan oportunistik, maka hukum hanyalah sandiwara.

Bangsa yang kehilangan ideologi, kehilangan arah moral dan rasa malu, akan melahirkan aparat tanpa nurani. Maka, sebelum kita menunjuk siapa yang merusak kepolisian, kita perlu bertanya, apakah kita sendiri masih jujur, atau justru ikut menikmati kebusukan sistem ini?

5. Jalan Pulang: Reformasi Moral dan Ideologis

Reformasi kepolisian tidak cukup dengan mengganti pimpinan atau memperbarui aturan. Yang dibutuhkan adalah revolusi moral dan ideologis.
Kepolisian harus kembali menjadi alat negara, bukan alat kekuasaan. Mereka harus dilindungi dari intervensi politik dan penetrasi asing. Tetapi yang lebih penting, masyarakat harus berhenti mengajarkan korupsi sejak di rumah, sejak di sekolah, sejak di meja negosiasi sehari-hari.
Ketika rakyat menegakkan nilai kejujuran, aparat pun akan malu untuk berkhianat.

Penutup

Polisi, Cermin Bangsa
Kepolisian bukan sekadar institusi; ia adalah cermin yang memantulkan moral suatu bangsa. Bila cerminnya retak, itu bukan hanya karena debu di seragam polisi, tapi juga karena kegelapan yang ada di hati bangsa ini.

Jadi, siapa yang merusak Polri? Mungkin jawabannya sederhana tapi paling pahit: kita semua — selama kita masih membiarkan kebenaran dikalahkan oleh kepentingan. (*)

Penulis :

Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa
di Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *