Oleh : Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
Hari Santri Nasional (HSN) yang sebentar lagi kita peringati bersama tanggal 22 Oktober 2025 jelas “la raiba fih”, tak diragukan sedikit pun sanad historisnya adalah konsistensi amal jariyah kebangsaan pesantren NU terhadap eksistensi “negara kebangsaan” Indonesia.
Ironisnya, satu dasawarsa, sejak HSN ditetapkan dalam legitimasi lembaran negara, yakni Keputusan Presiden (Keppres) no. 22 tahun 2015 justru belakangan bertubi tubi framing jahat dituduhkan sejumlah media terhadap pesantren NU. Insinuatif dan merusak martabat dan tradisi pesantren.
Ini harus dibela bukan sekedar pesantren NU adalah lembaga pendidikan, lebih dari itu, mengutip Gus Dur, pesantren adalah “subkultur” bangsa Indonesia dan penjaga kearifan lokal, bahkan simpul penyangga titik temu keislaman dan kebangsaan.
Trans 7, salah satu TV Nasional begitu ceroboh menayangkan seorang kiai sepuh NU secara “konfliktual”, satu sisi sang kiai difariming kaya raya dengan tunggangan mobil mewah di sisi lain dinarasikan para santri dan jamaah (wali santri) “membungkuk bungkuk” secara feodal memberikan amplop pada sang kiai. Sadis !!
Beberapa hari sebelumnya musibah rubuhnya mushalla di pesantren Buduran Sidoarjo, Jawa Timur, salah satu pesantren tertua NU yang menelan korban jiwa beberapa santri, bukan empati yang diterima mereka justru framing jahat di media terhadap pesantren tersebut – dibully habis.
Bahkan, seorang Guru Gempul, kritikus sosial di salah satu vidio di kanal YouTube terang terangan menarasikan stigma negatif tentang pesantren NU. “Kalau ada pencabulan di pesantren, kalau ada santri yang menyembah nyembah kiai, hampir pasti itu pesantren itu”, ujarnya.
Begitu bobrok kah pesantren NU yang oleh Gus Dur disebut “subkultur” bangsa Indonesia, sehingga harus diframing begitu rupa. Santri mengabdi ikut “ngecor” bangunan “ngalap berkah”, diframing eksploitasi santri dan perbudakan.
Pesantren NU diserang dari kasus oknum cabul, bulliying dan puncaknya momentum viral gedung ambruk di pesantren Buduran lalu digeneralisasi untuk menyerukan “jangan mondok”. Posisi ulama hendak “dipreteli” moralitasnya, hendak dijauhkan dari hati umat.
Pesantren NU dalam Disertasi Doktoral Dr. Zamahsyari Dhofir yang diterbitkan dalam buku berjudul “Tradisi Pesantren” (1982) berdiri di atas lima “elemen dasar” pesantren, yaitu kiai, santri, masjid, pondok dan kitab kuning. Itulah lima elemen dasar pesantren dalam konteks tradisi pesantren NU.
Relasi kiai dan santri bukan sekedar relasi guru dan murid seperti di sekolah umum, tidak pula dibatasi oleh ruang belajar melainkan hingga mereka para santri menjadi alumni dan berkiprah di berbagai bidang di tengah tengah masyarakat – relasi santri dan kiai tetap “built in”.
Itulah tradisi pesantren NU di mana relasi kiai dan santri tidak sekedar dalam konteks “belajar mengajar” melainkan relasi spritual suasana kebatinan yang dibentuk oleh ekosistem pesantren dan jaringan sanad keilmuan pesantren, sulit dimengerti oleh “orang luar” pesantren.
Konteks itu yang menjelaskan Fatwa “Resolusi jihad” KH Hasyim Asy’ari, Rois Akbar NU tanggal 22 Oktober 1945, yang kelak menjadi spirit ditetaokannya Hari Santri Nasional (HSN) setiap tanggal 22 Oktober, kekuatannya justru terletak pada kedudukan spritual “kiai” Hasyim Asy’ary dalam ekosistem pesantren NU
Sehingga fatwa “Resolusi jihad” di atas menembus batas area, memantik magnik para santri berdatangan dari berbagai daerah rela berkorban jiwa raga melakukan perlawanan atas agresor militer Belanda dan tentara sekutu di Surabaya. Itulah amal jariyah kebangsaan NU terhadap eksistensi “negara kebangsaan” Indonesia.
Sayangnya, perlakukan negara terhadap eksistensi pesantren meskipun telah disahkan Undang Undang tentang Pesantren, terus terang hingga saat ini masih meletakkan pesantren sebagai pendidikan “alternatif”, belum menjadi lembaga pendidikan “arus utama”.
Bahkan, menteri Agama, Prof. Nazarudin Umar, menyebut mindset negara terhadap pesantren masih mewarisi cara pandang kolonialisme. Kebijakan politik anggaran negara terhadap pesantren dan madrasah dibanding pendidikan umum hingga saat ini – masih sangat diskriminatif.
Pesantren sebagai “subkultur” dengan kekuatan swadaya masyarakat sejak dulu tidak terlalu menuntut atas kebijakan diskriminasi anggaran negara terhadap pesantren. Pesantren memahami betul keterbatasan ruang fiskal negara.
Tetapi negara tidak boleh membiarkan pesantren dibully, diframing jahat oleh media manapun dan atas nama pun. Jika hal ini terus dibiarkan potensial menimbulkan turbulensi dan goncangan politik yang dahsyat, sesuatu yang tidak boleh terjadi.
Biarkanlah pesantren berdiri kokoh sebagai subkultur dengan kekuatan tradisinya . Kiai pengasuh “tidak usah” diajari tentang Hak asasi manusia (HAM), Para kiai begitu fasih mana aspek aspek pesantren yang wajib “dimuhafadhah”, dipertahankan dan mana yang harus mengikuti inovasi baru (“Al jadi Al aslah”).
Para kiai memahami betul mana yang maslahat dan mana yang mafsadat (buruk) bagi santri dan kelangsungan hidup pesantren, selanjutnya negara membantunya bukan atas dasar belas kasihan tetapi kewajiban negara terhadap institusi pendidikan pesantren yang tak memiliki cacat historis sedikitpun terhadap negara dan bangsa.
Wassalam.