Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
Kalau Prof Burhanudin Muhtadi, Guru Besar FISIP UIN Jakarta, dalam tulisannya di majalah “Tempo” berjudul “Kekecualian NU” (15/8/2015) meletakkan “kekecualian” NU karena gestur NU sulit diringkas dalam satu definisi, selalu menghadirkan “element of surprise”, kejutan kejuan tak terduga.
Penulis meletakkan “kekecualian” atau “keunikan” NU sebagai “Jam’iyah” (ormas) justru karena NU memang “lebih dari sekedar” ormas Islam. NU berbeda dari umumnya ormas ormas islam di Indonesia secara geneologis, apalagi dengan partai politik sebagai “supra struktur” politik negara.
Dalam konteks “Kekecualian” NU itulah, hemat penulis, pemerintah tidak akan berpihak ke faksi manapun dalam konflik elite PBNU saat ini. NU terlalu rumit hanya diringkas dalam perdebatan tentang tafsir AD/ART dengan klaim kebenaran masing masing. NU terlalu sederhana jika dipersempit hanya urusan PBNU.
Terlalu “kemajon”, dalam diksi politik Jawa Sosiolog Prof. Umar Kayam, artinya terlalu “pede” bila ada pihak yang berkonflik di tubuh PBNU seolah olah telah mendapat “restu” dari pemerintah hanya membaca dari variabel indikatif misalnya kehadiran seorang “tokoh birokrasi” dalam acara salah satu faksi yang berkonflik di tubuh PBNU.
Presiden Prabowo sejak masih aktif sebagai tentara sangat intens berinteraksi dengan kiai kiai pesantren tentu memahami betul pesantren adalah subkultur penyangga NU sehingga suara suara pesantren terutama pesantren basis kultural utama NU akan menjadi bagian penting dalam timbangan kebijakannya terkait konflik PBNU.
NU sebagai “Jam’iyyah” jelas berbeda dengan partai politik, bahkan berbeda dengan ormas ormas Islam “modernis” secara geneologis. Mereka secara umum dibentuk dulu secara struktural dengan formulasi visi dan misi lalu mengembangkan khidmatnya dengan memperluas sayap sayap struktural ke daerah daerah.
NU adalah kebalikannya. NU berdiri dan didirikan oleh para kiai tidak mengikuti teori “modernisme global” di atas. Ekosistem sosial NU terbentuk mapan terlebih dahulu melalui jaringan tradisi kultural keagamaan pesantren kemudian distrukturkan dalam formalisme organisasi terstruktur karena kepentingan legal administratif dalam relasi dengan institusi lain.
Dengan kata lain, kekuatan kultural NU mendahului kekuatan strukturalnya. Karena itu, memenangkan pertarungan “konflik” di internal PBNU lebih rumit, tidak bisa sekedar merebut SK legalitas formal struktural melainkan merebut pengakuan moralitas kultural pesantren, sebuah variabel tak terpisahkan dari NU.
IItulah “kekecualian” NU, didirikan sebagai titik temu perjumpaan “isyarat langit” dan tanggung jawab “kekhalifahan” para kiai di bumi. NU bertumbuh, eksis dan besar tidak “diasuh” oleh negara tetapi disubsidi energy batin ratusan juta umat pengikutnya – tentu tanpa menolak kemitraan strategis dan taktis dengan pemerintah.
Dalam konteks itu relevansi pernyataan Gus Salam, pengasuh pesantren Denanyar Jombang, Jawa Timur, yang mengingatkan para elite PBNU tidak menyeret nyeret keterlibatan pemerintah atau pemerintah tidak “cawe cawe” terkait konflik internal elite PBNU, dikutip media “RMOL.ID”, edisi 11/12/2025.
Gus Salam meminta pemerintah tidak ikut campur dalam konflik PBNU dan mengingatkan bahwa legitimasi kepengurusan NU bukan berasal dari pemerintah, cq. Kemenkumham melainkan pengakuan dari ulama pesantren.
Bagi Gus Salam, “Walaupun Jam’iyyah NU terikat UU Organisasi kemasyarakatan (Ormas) namun status hukum pendirian NU telah ditetapkan sebelum terbentuk NKRI”, tutur Gus salam di media “Rmol” tersebut.
Artinya, “Pengakuan utama atas adanya kepengurusan PBNU adalah pengakuan ulama-kiai pesantren yang diwakili struktur NU di tingkat wilayah, cabang hingga ranting”, tutur Gus Salam lebih lanjut.
Karena itu, satu satunya jalan mengakhiri konflik adalah Muktamar Luar Biasa (MLB) yang disepakati bersama untuk dilaksanakan dalam tempo yang sesingkat singkatnya. Di luar forum MLB, potensial menimbulkan turbulensi lebih dahsyat dalam tubuh PBNU.
Inilah forum permusyawaratan tertinggi jam’iyah NU. Konstitusional menurut ketentuan AD/ART dan cara bermartabat mengembalikan NU kepada “pemiliknya”, para peserta Muktamar seluruh Indonesia, representasi sosial pesantren.
Dalam konstruksi itulah, sekali lagi, penulis meyakini pemerintah tidak akan berpihak kepada salah satu faksi di PBNU. Pemerintah memahami betul bahwa NU lebih dari sekedar ormas terstruktur legal melainkan juga ekosistem sosial pesantren yang akan menjadi timbangan pemerintah
Paling jauh, mendorong kesepakatan bersama untuk percepatan MLB, melibatkan tokoh tokoh pesantren demi menghindarkan PBNU tidak berkepanjangan menjadi “tontonan” konflik, kembali tegak menjadi “tuntunan” moralitas keteladanan umat
Wassalam














