banner 728x250

NINA AGUSTINA KORBAN PLAYING VICTIM, MENCARI RUANG KEADILAN POLITIK

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan.

TERUS Terang penulis dalam hal hal “tertentu”‘ tidak terlalu “happy” dengan gaya politik Nina Agustina sebagai Bupati Indramayu tetapi ruang keadilan politik harus diberikan kepada siapa pun termasuk Nina sehingga tidak selalu menjadi “tertuduh”, korban politik “playing victim”.

Dulu, entah siapa desainer politik di belakangnya, Nina tampil sebagai Bupati “lebih” mengirim pesan untuk “memusuhi” rezim sebelumnya, tidak meletakkan diri dalam rangkaian historis perjalanan Indramayu ke depan.

Nina memang tidak “taktis” sebagai pejabat politik, terlalu “straight” dan “lurus” sehingga mudah “dibanting” oleh permainan “jago” dan piawai akting “playing victim”, drama politik “tersakiti” di panggung “sexi” pilkada Indramayu 2024.

Nina dalam teori “dramaturgi” Ervin Gofman tidak piawai memainkan “panggung depan” dan panggung belakang”, mudah menjadi korban kepiawaian politik “playing victim” di tengah masyarakat “sosio dramatik”, cepat “terenyuh” bahkan sekedar nonton sinetron “air mata” di tivi.

Kalau saja Nina tampil dalam performance tenang seperti seperti politisi mapan H.Dedi Wahidi atau H. Daniel Muttaqin, tentu politik model “playing victim” sulit bertumbuh di “taman Puspa” politik Indramayu.

Tetapi terlepas dari hal hal di atas, sebagaimana disebutkan diatas, ruang keadilan politik harus diberikan kepada Nina, tidak selalu menjadi “tertuduh” dalam peristiwa politik termasuk terkait “drama” politik di Tegal Taman Sukra, begitu viral sehingga sejumlah program baik Nina “tenggelam” di ruang publik.

Program Nina tentang “mengcover” indeks kesehatan warga dalam perlindungan BPJS misalnya adalah program mendasar dalam memenuhi amanat UUD 1945 (melindungi rakyat) tentu tanpa harus kehilangan sikap kritis terhadap program program lain yang tidak optimal.

Sayangnya program perlindungan di atas begitu baik dan maslahat tidak “di drive” dengan pola komunikasi yang “magnitik” secara elektoral. Birokrasi seharusnya piawai mengkonstruksi komunikasi tentang maslahat dan keberhasilan program bupati Nina.

Dengan kata lain standart pola komunikasi para birokrat Indramayu terus terang masih standart “hp Novia” tidak connected dengan ruang area publik dengan standart “hp android”. Itulah sebabnya program yang baik dari Nina tidak “nyambung” bahkan “tertolak” dalam persepsi publik.

Birokrasi terlalu lama tersandera “bahasa birokratis”, menurut Sosiolog Arif Budiman, kerangka narasi dan pilihan diksinya mendikte dan ribet. Birokrat harus “belajar lagi” bagaimana adaptasi komunikasi di era media sosial di hadapan generasi milenial and “Z”.

Dalam ekspektasi penulis Tobroni sebagai “wakil” dari Nina mampu menutup ruang kelemahan komunikasi di atas selain karena ia terlatih dalam pergaulan politik – juga rekam jejak pendidikannya sangat “expert” dalam langgam komunikasi politik

Point yang hendak digaris bawahi dari tulisan singkat ini bukan untuk memuji siapa pun kecuali hendak menegaskan bahwa prinsip memberi kesetaraan keadilan di ruang publik penting disuarakan terhadap siapa pun termasuk kepada Nina.

Pasalnya korban politik “playing victim” tidak hanya Nina bahkan calon lain menerima “getahnya”. Inilah bahaya politik “post truth”, politik “pasca kebohongan” kata Frans Magnis, “sudah menipu tapi meraih simpati publik”. Gak bahaya tah?

Wassalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *