banner 728x250

MENYEGARKAN RELEVANSI RUMAH BESAR IKAMA, DARI MADURA UNTUK INDONESIA RAYA

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

IKAMA, singkatan dari “Ikatan Keluarga Madura” adalah rumah besar tempat berhimpun populasi etnis Madura dari beragam segmentasi profesi dan strata sosial di berbagai daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bahkan di sejumlah negara.

IKAMA berdiri tahun 1974 atas inisiasi sejumlah tokoh Madura, antara lain KH. R. Amin Imron, cucu Syaekhona Muhamad Khalil, Bangkalan, tokoh “historis” bertumbuhnya kesadaran titik temu keislaman dan kebangsaan dalam perjuangan kemerdekaan, KH. Syukran Makmun, Singa podium di masanya dan Jend (purn) R. Hartono, mantan kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan atau “ormas”, IKAMA resmi terdaftar di Kemenkumham: AHU-0008654, AH. 01.07 tahun 2024 dan Kemendagri : 01.00.00/042/II/2020. Inilah dasar yuridis bentuk pengakuan negara atas eksistensi legal IKAMA sebagai “ormas” di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Populasi etnis Madura menyebar di seluruh Indonesia, bahkan hingga ke sejumlah negara. Di Jawa Barat populasi etnis Madura sebesar 0,08% dari total populasi Jawa Barat – terbesar ke 6 dari 34 Provinai di Indonesia berdasarkan data sensus 2011.

Populasi etnis Madura dalam skala provinsi secara urutan jumlah populasi signifikan, yaitu Jawa Timur 6.424.400, Kalimantan Barat 274.501, DKI Jakarta 79.805, Kalimantan Selatan 53.000, Kalimantan Timur 46. 790, Jawa Barat. 43.000, Kalimantan Tengah 42.000, dan Bali 29. 000.

Tulisan singkat ini tidak dalam konstruksi hendak menelusuri motive motive “etno geografis” kenapa etnis suku Madura bisa “abental ombek asapok angin” menyebar ke hampir seluruh wilayah di Nusantara, sekali lagi, bahkan ke sejumlah negara.

Mula mula dengan skil profesi terbatas secara “alamiyah” misalnya keahlian dalam bisnis “besi tua” dan pedagang “sate”, untuk menyebut sebagian – kini dalam konteks mengikuti teori “mobilitas sosial” Prof. Nurcholis Madjid mulai masuk pada profesi profesi lebih beragam akibat transformasi kesadaran mobilitas sosial pendidikan dll.

Konstruksi tulisan singkat ini tekanannya adalah bagaimana IKAMA sebagai ormas berbasis ikatan “sukuisme” meletakkan diri di tengah keragaman suku suku bangsa lain saat populisme politik acaokali memainkan unsur unsur “SARA” (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) dalam kontestasi politik elektoral.

Ini penting dan bukan persoalan sederhana. Pasalnya kemampuan adaptasi dengan ekosistem sosial di sekitarnya akan menentukan kiprah dan kontribusi sosial IKAMA sebagai bagian tak terpisahkan dari suku suku bangsa lain dalam relasi dan kohesi kebangsaan kita.

Sebaliknya penegasan identitas “sukuisme” secara overload di ruang ruang publik di era media sosial, sebuah era “post truth”, mengutip teori Noam Chomsky di mana informasi “hoax” mudah disulap seolah olah fakta di media sosial untuk mempertajam pembelahan sosial secara ekstrim.

Inilah yang disebut oleh ilmuan politik Prof. Samuel Huntington sebagai potensi “the class of Civilization”, potensi benturan konflik keras antar peradaban, dalam konteks Indonesia timbulnya potensi konflik berbasis etnisitas budaya secara ekstrim.

IKAMA sebagai ormas yang berdiri diatas kesamaan “sukuisme”, yakni etnis Madura, sebuah etnis dengan ikatan keagamaan (Islam) sangat kuat penting menyegarkan relevansi IKAMA sebagai ormas dengan meletakkan spirit agama sebagai nilai dasar perjuangan organisasi.

Al Qur an,memberikan spirit arah perjuangan IKAMA bahwa “tidak ada kebermanfaatan dan maslahat dalam berserikat atau berorganisasi kecuali “amaro bi shodaqotin” (sharing kontributif) satu sama lain, “bi makrufin” (menebar kebaikan) atau “islahin bainal nas”, menjadi titik simpul perdamaian diantara sesama manusia (Q.S. An Nisa’, 114).

Itulah titik pangkal yang harus mendorong kesediaan ruang batin dalam berkiprah dan berkontribusi organik melalui organisasi IKAMA, sebuah jalan kebersamaan kolektf “meaning full partifipation”, partisipasi secara bermakna dalam keterlibatan memajukan peradaban bangsa.

Bacaan sepintas penulis tentang “profiling” IKAMA terkait visi, misi, program, regulasi internal organik (AD/ART), kiprah, kontribusi di bidang pendidikan, sosial dan dan lain lain dalam buku “sekilas tentang ikama”,terbit 2024 sudah mencerminkan gerak organisasi relatif baik diukur dari fungsi fungsi “keormasaan” di Indonesia.

Paling tidak IKAMA telah menjadi wadah untuk melestarikan budaya dan tradisi baik berbasis keagamaan maupun kesenian khas Madura, instrument sosial untuk mempererat “silaturahim”, agregasi aspirasi publik, partisipasi dalam pendidikan dan sosial, falisitasi instrumental kegiatan ekonomi dan meneguhkan semangat persatuan dan toleransi.

Ke depan seiring keniscayaan zaman dan perubahan ekosistem sosial maka suka tidak suka, IKAMA harus berani “melawan kelelahan” untuk menyegarkan relevansi maslahatnya di ruang publik dengan berpijak pada kaidah fiqih “Almuhafadhah ‘ala Al qodimish Sholeh, Wal akhdu bil jadilil Aslah”.

Yaitu kemampuan kolabiratif memelihara tradisi lama yang baik dan adaptasi taktis untuk melakukan inovasi kontribusi baru yang lebih balik.

Di situlah relevansi IKAMA sebagai jalan kebaikan bersama ke depan secara aktif. Karena kebaikan jika tidak “diendorse” dan hanya bersifat pasif dalam sejarah selalu dikalahkan oleh “premanisme” aktif, merusak tertib sosial dan kohesi kebangsaan.

Wassalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *