banner 728x250

POLITIK ANGGARAN DISKRIMINATIF SMA/SMK NEGERI VS SWASTA DI JAWA BARAT

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

KOMITMEN Politik anggaran Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat yang tegas pada prioritas belanja publik dibanding belanja birokrasi harus bersifat “affirmatif” dan keberpihakan pada prinsip keadilan proporsional dalam “memperlakukan” eksistensi SMA/ SMK/SLB “swasta” di Jawa Barat.

Desain regulasi tentang eksistensi SMA/SMK/SLB, yakni rumpun lembaga pendidikan menurut Undang Undang di bawah yuridiksi Gubernur dikonstruksi tidak bersifat diskriminatif, tidak hanya “negeri oriented”, jauh dari prinsip negara “hukum” kecuali sekedar negara “legal”.

Negara hukum atau mengutip Bung Hatta disebut “Rechtsstaat” mencerminkan prinsip keadilan proporsional sementara dalam politik kekinian negara hukum direduksi menjadi “negara legal”. Regulasi dibuat asal “legal” menurut prosedur pranata lembaga negara meskipun tidak mencerminkan prinsip keadilan.

Peraturan Daerah atau “Perda” Provinsi Jawa Barat No 158 tahun 2022 dan Perda No 13 tahun 2021 adalah contoh cara “negara” (dalam hal ini “Provinsi” Jawa Barat) memperlakukan SMA/SMK/SLB “swasta” secara diskriminatif dibanding “vis a vis” sekolah “negeri”.

Dua perda di atas “legal” sebagai “aturan” tapi jauh dari prinsip keadilan dalam perspektif negara hukum. Dalam perspektif (Alm) Budayawan Moechtar Lubis, ini disebut “feodalisme” kebijakan.

Inilah warisan mentalitas kolonialisme Belanda yang dulu model pendidikan feodalistik ini dikritik keras Karel Steenbrink, ilmuan Belanda, peneliti model pendidikan di Indonesia.

Ada dua minimal sisi diskriminatif dari dua Perda Provinsi Jawa Barat tersebut :

Pertama, Perda Provinsi Jawa Barat No 158 tahun 2022 di atas tentang Biaya Operasional Pendidikan Daerah (BOPD) bersifat “mandatori” (wajib) hanya untuk SMA/SMK/SLB “negeri”. Dipihak lain dalam Perda No 13 tahun 2021 bantuan pendidikan untuk SMA/SMK/SLB “swasta” – hanya bersifat “hibah”, “tidak wajib”. Inilah sisi diskriminatif nya.

Kedua, dalam hal pemberian “hibah” terhadap SMA/SMK/SLB “swasta” dalam perda di atas dihitung sebesar Rp. 50.000/siswa/ bulan. Untuk sekolah “negeri” berdasarkan kategori Jumlah “Rombel’ (Rombongan Belajar) dengan rentang kalkulasi sebesar Rp.145.000 hingga Rp.170.000/siswa/bulan. Ini sisi diskriminatif “turunannya”.

Dalam perbandingan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur jelas berbeda. Dua Provinsi besar setara Jawa Barat ini menerapkan kebijakan “inklusif”. Besaran bantuan untuk SMA/SMK/ SLB/ “setara” antara sekolah negeri dan swasta. Di Jawa Tengah Rp. 245.000/siswa/bulan (Pergub No. 29 tahun 2019) dan di Jawa Timur Rp. 225.000/siswa/ bulan ( Pergub No. 33 tahun 2019).

Politik anggaran di bidang pendidikan di Jawa Barat dalam dua Perda tersebut penting dikonstruksi ulang dalam politik anggaran Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat, bagian dari komitmennya untuk membongkar postur anggaran dari 70% belanja birokrasi dan 30% belanja publik dibalik menjadi 70% belanja publik dan 30% belanja birokrasi.

Pembalikan politik anggaran dalam belanja publik di atas diletakkan dalam desain perimbangan proporsional antara belanja infrastruktur dasar (jalan, irigasi dll) dengan belanja peningkatan SDM, dua duanya sama pentingnya bagi Jawa Barat.

Dalam Pembukaan UUD1945 dua hal di atas disebutkan secara eksplisit dalam tujuan bernegara, yaitu “memajukan kesejahteraan umum” (infrastruktur dasar) dan “mencerdaskan kehidupan bangsa” (peningkatan SDM).

Terlebih posisi SDM Jawa Barat dalam data BPS (2024) masih di peringkat 10 di bawah jauh Provinsi Daerah Khusus Jakarta di posisi pertama, bahkan Jawa Barat masih di bawah Riau dan Sumatera Barat, dua Provinsi luar pulau Jawa (Merdeka com, 4/12/2024).

Inilah salah satu variabel penting dari sejumlah variabel lain, bersifat “interdependensi” atau saling berkait untuk menjawab tingkat SDM Jawa Barat, Provinsi terpenting bagi penyangga Daerah Khusus Jakarta, kota Metropolitan.

Dalam konteks itulah kesadaran kolektif kita meletakkan politik anggaran sebagai jalan politik peradaban bangsa. “Bangsa beradab tidak mengenal jenis “kelamin” apakah sekolah negeri atau swasta”, – adaptasi dari prinsip kebangsaan modern Jack Rousseu, filosuf Geneva modern.

Wassalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *